JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan hampir sama seperti Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.
Menurut Isnur, kemiripan itu terlihat dari uji konteks akademik yang dinilai sama-sama tidak terlihat.
"Jadi lagi-lagi sama seperti Omnibus law Cipta Kerja, berada di ruang gelap. Tidak ada uji dalam konteks akademik, verifikasi, dan klasifikasi," ujar Isnur dalam konferensi pers, Selasa (13/6/2023).
"Mau dibilang bodong ya bodong naskah akademiknya," ujar dia.
Baca juga: ICW Sebut RUU Kesehatan Belum Mampu Jawab Masalah Korupsi Bidang Pelayanan Kesehatan
Isnur mengatakan, naskah akademik dalam penyusunan RUU Kesehatan dibuat dengan ceroboh dan tidak ada legitimasi.
Dia menyebut, naskah akademik tidak memiliki kekuatan yang layak untuk disebut sebagai naskah akademik penyusun undang-undang.
"Misalnya dalam metodologi penelitian mengutip beberapa ahli atau pakar yang sudah usang bukunya, bahkan bukunya sudah direvisi oleh penulisnya sendiri," ucap Isnur.
Isnur menyebut, RUU Kesehatan ini akan mengevaluasi berbagai kebijakan dalam undang-undang lainnya.
Namun, reverensi untuk naskah akademik tidak dejlas, termasuk siapa yang menulis riset terkait naskah akademik RUU tersebut.
"Kita pun sama sekali tidak tahu siapa yang menyusun ini. Bagaimana ini bisa dipertanggungjawabkan sebagai naskah akademik kalau kita tidak tahu siapa yang menyusunnya," ujar dia.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Minta Pengesahan RUU Kesehatan Ditunda, Ini 7 Alasannya
Oleh karena itu, YLBHI bersama 42 gerakan masyarakat sipil lainnya meminta agar pengesahan RUU Kesehatan tersebut ditunda.
Selain alasan naskah akademik yang mirip UU Cipta Kerja, ada beberapa alasan yang diungkap koalisi masyarakat sipil seperti pembahasan RUU Kesehatan yang tertutup dan tanpa partisipasi publik yang bermakna.
Alasan lain, lemahnya urgensi kebutuhan RUU Kesehatan dengan metode omnibus law.
RUU tersebut juga dinilai cenderung mengarah pada liberalisasi sistem kesehatan dan memperluas privatisasi layanan kesehatan.
RUU Kesehatan tersebut juga dinilai meniadakan alokasi minimal anggaran kesehatan.
Sentralisasi tata kelola kesehatan oleh pemerintah pusat juga dinilai dapat mengurangi independensi pengetahuan di sektor kesehatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.