Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU Perampasan Aset Izinkan Negara Rampas Harta Terdakwa Meninggal atau Buron

Kompas.com - 16/05/2023, 23:21 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset disebutkan negara tetap bisa merampas harta milik tersangka atau terdakwa kasus kejahatan yang meninggal atau buron sehingga tidak dapat dieksekusi.

Perampasan aset diduga hasil kejahatan milik tersangka atau terdakwa yang meninggal atau menjadi buronan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Pendekatan RUU ini banyak penerapan perampasan aset tanpa tuntutan pidana. Orangnya tidak dihukum, mungkin buron, meninggal dunia, tidak dapat dieksekusi karena susah asetnya saja yang dirampas untuk negara," kata anggota tim perumus RUU Perampasan Aset, Yunus Husein, seperti dikutip dari program Ni Luh di Kompas TV, Selasa (16/5/2023).

Menurut Yunus, dalam kondisi seperti itu maka negara tetap bisa merampas aset diduga hasil kejahatan tanpa harus menunggu vonis pengadilan.

Baca juga: Ketua Komisi III DPR Sebut RUU Perampasan Aset Berpeluang Disampaikan pada Rapur Jumat

Yunus mengatakan, mekanisme perampasan aset ini tentunya dilakukan di pengadilan. Jaksa penuntut umum harus mengajukan permohonan kepada majelis hakim untuk menyita aset milik terdakwa meski vonis belum dijatuhkan.

Menurut Yunus aturan yang berlaku saat ini adalah aset atau barang bukti yang diduga hasil kejahatan bisa dirampas negara jika sudah ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah).

Setelah RUU Perampasan Aset disahkan menjadi undang-undang, maka negara melalui Kejaksaan Agung bisa merampas aset tanpa menunggu vonis pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa.

Yunus menambahkan, jika pengadilan memutuskan aset yang disita tidak berkaitan dengan perkara, maka negara wajib mengembalikannya.

Baca juga: Surpres RUU Perampasan Aset Tak Dibacakan Saat Sidang Paripurna, Puan: Belum Masuk Mekanisme

Dia menambahkan, terkait metode pengelolaan aset hasil kejahatan yang disita, pemerintah bisa meniru Belanda.

Yunus mengatakan, pemerintah Belanda menerapkan metode menjual semua barang-barang sitaan hasil kejahatan dengan harga yang berlaku saat barang disita.

Uang hasil penjualan aset hasil kejahatan yang dirampas kemudian disimpan di sebuah lembaga pengelolaan. Setelah itu, jika pengadilan memutus ada aset yang harus dikembalikan, negara mengembalikannya dalam bentuk uang sesuai dengan hasil penjualan.

"Ini salah satu alasan untuk mengajukan permohonan menyita aset tanpa menghukum pelakunya. Kalau di pengadilan tidak terbukti aset yang disita harus dikembalikan, jadi harus dikembalikan kalau tidak bersalah," ujar Yunus.

Baca juga: ICW Minta Pembahasan RUU Perampasan Aset Terbuka dan Akomodasi Masukan Publik

Yunus menegaskan mekanisme perampasan aset harus melalui pengadilan. Maka dari itu dalam proses penyelidikan ataupun penyidikan, penyidik tidak bisa melakukan perampasan secara sepihak.

Langkah ini agar memberi kesempatan bagi pihak ketiga atau pihak berkepentingan untuk membantah aset yang sedang disengketakan jika tidak berkaitan dengan perkara.

Kemudian dalam RUU Perampasan Aset juga dibuat batasan perkara yang bisa dilakukan perampasan yakni ancaman hukuman empat tahun lebih. Jumlah aset yang dirampas ditentukan minimal Rp 100.000.000.

"Kenapa Rp 100.000.000. Dalam kasus narkotika misalnya yang disita misalnya asbak, buat apa barang-barang kecil ngerepotin kita. Jadi harus ada nilai yang signifikan," ujar Yunus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Pesawat Latih yang Jatuh di BSD Serpong Selesai Dievakuasi

Pesawat Latih yang Jatuh di BSD Serpong Selesai Dievakuasi

Nasional
ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

Nasional
Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Nasional
Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Nasional
Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di 'Gala Dinner' KTT WWF

Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di "Gala Dinner" KTT WWF

Nasional
ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta 'Money Politics' Dilegalkan

ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta "Money Politics" Dilegalkan

Nasional
Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum 'Gala Dinner' WWF di Bali

Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum "Gala Dinner" WWF di Bali

Nasional
Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Nasional
Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Nasional
Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nasional
Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Nasional
UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

Nasional
Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Nasional
MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

Nasional
Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com