Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Dikritik soal LHKPN Rafael Alun, Pakar: Kurang Peka dan Tak Kreatif

Kompas.com - 02/03/2023, 16:32 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikritik karena dianggap tidak peka dan kurang kreatif mendalami dugaan kekayaan tidak wajar, seperti terjadi pada kasus mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo.

Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, KPK selama ini selalu memulai penyelidikan dari dugaan korupsi seperti penggelembungan nilai, gratifikasi, penggelapan dalam jabatan, benturan kepentingan, perbuatan curang, pemerasan, kerugian keuangan negara hingga suap.

Setelah pidana pokoknya terbukti, kata Abdul, KPK kemudian mengembangkan penyidikan ke arah dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Akan tetapi, dalam kasus Rafael justru diawali dari kekayaan tidak wajar dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

"KPK termasuk pimpinan saat ini tidak peka. Penanganan kasus selalu dimulai dari diketahui timbulnya penyimpangan baik karena laporan dari luar dengan OTT (operasi tangkap tangan) maupun pengembangan kasus dari kasus yang pernah ditangani saja," kata Abdul saat dihubungi Kompas.com, Rabu (1/3/2023).

Baca juga: KPK soal Pelat Harley-Davidson Rafael Alun Trisambodo B 6000 LAM: Fix Bodong

Abdul menyampaikan, KPK sebenarnya bisa menggunakan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dinilai janggal atau tidak sesuai dengan profil pendapatan serta golongan jabatan sang pejabat sebagai dasar buat memulai dugaan korupsi.

Dari kasus Rafael, Abdul mengatakan KPK sebaiknya mengembangkan metode penyelidikan dugaan rasuah berbekal LHKPN yang dianggap janggal.

"KPK tidak kreatif, padahal dari laporan LHKPN itu bisa ditelusuri baik kejanggalan dari laporannya sendiri maupun laporan LHKPN-nya dengan kenyataan kepemilikan harta si penyelenggara negara," ucap Abdul.

KPK kemarin memanggil Rafael buat meminta klarifikasi atas hartanya yang tercatat sebesar Rp 56,1 miliar. Dari jumlah itu dilaporkan sebesar Rp 51 miliar dalam bentuk aset berupa tanah dan bangunan.

Dalam proses klarifikasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut kejanggalan transaksi Rafael Alun sudah dideteksi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2003 silam.

Baca juga: 8,5 Jam KPK Selisik Kejanggalan Harta Kekayaan Rafael Alun

“PPATK saya bilang 2003 transaksinya sudah disebut walaupun dia belum wajib lapor,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan dalam konferensi pers di KPK, Rabu (1/3/2023).

Pahala mengatakan, KPK tidak hanya akan mencari tahu kebenaran LHKPN Rafael.

Lembaga antirasuah ini akan menelusuri apakah asal usul kekayaan Rafael itu bisa dipertanggungjawabkan.

"Kalau asal (harta)-nya bisa dipertanggungjawabkan, kalau di LHKPN kan asal harta juga disebut, waris hibah dengan akta hibah, tanpa akta hasil sendiri, cuma itu saja ini yang kita dalami," kata dia.

"Termasuk laporan PPATK kita baca, tapi targetnya sekali lagi bukan hanya meyakinkan bahwa hartanya Rp 51 miliar, tanahnya itu ada semua, lantas yang lainnya oke, enggak begitu. Kita cari asalnya sekarang, makanya jadi agak lama karena kita cari asalnya," ujar Pahala.

Baca juga: KPK Dalami Aset Rafael di Yogyakarta: Jumlahnya Enggak Istimewa tapi Utangnya Istimewa

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com