Sebagai gambaran, pada tahun 2009 lalu, William Case (saat ini sebagai Profesor Politik di Hong Kong University), pernah memberi label demokrasi kualitas rendah atau low quality democracy kepada Indonesia, meskipun waktu itu Freedom Institute memberi Indonesia skor baik sebagai negara dengan kategori “free”.
Menurut Case, meskipun Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menyandang predikat free berdasarkan penilaian Freedom House, tapi hal itu tidak serta merta berkorelasi positif dengan kualitas demokrasi pada tataran operasional.
Secara faktual, demokrasi Indonesia baru sebatas demokrasi dengan tingkat kualitas rendah (low quality democracy), demikian kesimpulan William Case waktu itu.
Mengapa? Karena, masih menurut Case, legislator dan pemimpin partai politik, meski telah terpilih melalui proses demokrasi elektoral yang relatif jujur, adil dan kompetitif, namun tidak menghasilkan output yang suportif untuk perbaikan kehidupan publik.
Mereka justru sibuk dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya serta mengedepankan koalisi-koalisi yang justru mengompromikan kepentingan masing-masing kelompok.
Parahnya lagi, tulis Wiliam Case, para wakil-wakil terpilih tersebut bukan saja mengesampingkan public good, tapi juga lebih banyak mengakomodasi kepentingan petinggi-petinggi birokrasi dan kelompok-kelompok pengusaha untuk konsesi-konsesi yang menguntungkan pribadi atau partai (William Case, The Pacific Review,Vol.22 No.3 July 2009).
Lantas apa dan bagaimana parameter kualitas demokrasi tersebut? Apa itu kualitas demokrasi?
Secara teoritik, sebagaimana diungkapkan oleh Leonardo Marlino, Profesor Ilmu Politik Barcelona University (Marlino, 2003), kualitas demokrasi (Quality of Democracy/QoD) bisa dinilai dari tiga perspektif, yakni prosedur (institusi demokrasi), content (efektifitas), dan hasil (outputs).
Tiga cara pandang ini nantinya akan melahirkan tiga tolak ukur yang saling tergantung dan memengaruhi dalam menentukan kualitas demokrasi sebuah negara, yakni "Rule of Law", "Accountability", dan "Responsiveness".
Kemudian, dari cara pandang teoritik ini bisa disimpulkan bahwa penerapan Rule of Law yang rendah cenderung membuat kualitas Accountability seorang pemimpin atau institusi demokrasi juga rendah.
Dan jika tingkat dan kualitas Accountability rendah, maka Responsiveness (kepekaan) pemimpin dan para pembuat kebijakan terhadap publik juga rendah.
Jadi sangat bisa dipahami mengapa pelan-pelan pemerintahan di era Jokowi mulai dipertanyakan komitmennya tentang demokrasi.
Karena, pembangunan dari sisi hukum (rule of law/law enforcement) sangat jauh tertinggal di belakang jika dibandingkan dengan pembangunan ekonomi dan SDM, misalnya.
Sebagaimana rumusan kualitas demokrasi di atas, penerapan Rule of Law yang rendah akan cenderung mendegradasi akuntabilitas dan responsivitas pemerintah atas aspirasi publik. Karena itu, demokrasi kita juga cenderung terdegradasi.
Jabatan kepala desa mulai minta ditambah jadi 9 tahun. Posisi gubernur mulai dipertanyakan dan diaspirasikan untuk dihapus.
Dan yang lebih berbahaya, isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode tak pernah benar-benar berhenti digaungkan.
Kerikil-kerikil demokrasi ini berpeluang mengaburkan niat Indonesia untuk terus mengonsolidasikan demokrasi. Sangat disayangkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.