Skor tertinggi yang bisa diberikan terhadap daftar checklist civil liberties adalah 60 (atau total skor 4 untuk masing-masing dari 15 pertanyaan).
Biasanya dalam peninjauan, skor dari edisi sebelumnya digunakan sebagai patokan untuk tahun berjalan.
Dan skor biasanya berubah jika ada perkembangan sepanjang tahun yang mengindikasikan adanya penurunan atau perbaikan (misalnya, tindakan kekerasan terhadap media, pemilihan bebas dan adil), meskipun perubahan kondisi yang dinilai tidak mendadak (dadakan) alias secara bertahap.
Freedom score yang pada setiap tahun dirilis oleh Freedom Institute menggunakan sistem pemeringkatan tiga tingkat, terdiri dari scoring, rating, dan status.
Daftar lengkap pertanyaan yang digunakan dalam proses penilaian kemudian dikonversi ke dalam angka di tabel untuk selanjutnya mengubah score menjadi rating dan dari rating menjadi status.
Sebuah negara atau wilayah diberi dua peringkat (1-7), satu untuk hak politik dan satu untuk kebebasan sipil, berdasarkan total skor untuk pertanyaan hak politik dan kebebasan sipil.
Peringkat 1 mewakili tingkat kebebasan terbesar dan 7 untuk tingkat kebebasan terkecil, sesuai dengan rentang skor total tertentu.
Dari kumulasi nilai tersebut maka lahirlah freedom score sebuah negara, yang dalam kajian pada umumnya kerap disebut dengan istilah indeks demokrasi.
Sementara itu, BPS menggunakan klasifikasi numerik tingkat demokrasi dengan tiga kategori, yakni “baik” (indeks > 80), “sedang” (indeks 60-80), dan “buruk” (indeks < 60) dalam skala 0 hingga 100.
BPS pun menambahkan parameter institusi demokrasi yang digunakan untuk mengukur tingkat kinerja lembaga-lembaga demokrasi di sebuah negara, atau di sebuah daerah.
Dengan metodologi dan cara kerja yang tidak mudah tersebut, rasanya agak sulit untuk mengatakan indeks demokrasi yang dirilis oleh BPS sebagai sebuah hasil survei yang kurang kredibel.
Dengan kata lain, indeks demokrasi versi BPS juga layak dijadikan acuan, walaupun tetap dalam cara pandang kritis, karena BPS adalah bagian dari pemerintah.
Tentu butuh justifikasi yang benar-benar mumpuni untuk membantahnya alias tidak melulu emosional dalam menanggapinya, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa kepala daerah saat mengetahui bahwa BPS melabeli daerahnya kurang demokratis.
Alih-alih mengontroversikan indeks demokrasi, toh bukankah lebih baik dijadikan salah satu acuan untuk terus memperbaiki kinerja demokrasi di daerah.
Pertanyaannya kemudian, jika Indeks demokrasi saja terus memburuk, lantas bagaimana dengan kualitas demokrasi (quality of democracy) kita?
Memang, indeks demokrasi adalah satu hal, sementara kualitas demokrasi adalah hal lainnya. Namun keduanya punya keterkaitan yang sangat erat.
Biasanya para peneliti kualitas demokrasi menjadikan data indeks demokrasi sebagai acuan awal.
Nah, masalahnya, bahkan saat indeks demokrasi baik sekalipun, justru masih terbuka peluang kualitasnya buruk. Apalagi jika indeksnya buruk, bukankah kemungkinan kualitas demokrasi yang lebih buruk juga sangat besar peluangnya?