Salin Artikel

Menyoal dan Mengukur Kualitas Demokrasi Kita

Indeks tersebut memiliki skala dari 0 hingga 10. Pengukurannya didasarkan pada pemeringkatan 60 indikator, yang semuanya dikelompokkan ke dalam lima kategori: proses pemilu dan pluralisme; kebebasan sipil; fungsi pemerintah; partisipasi politik; dan budaya politik.

Setiap kategori akan diberi skala 0 sampai 10. Total indeks adalah rata-rata sederhana dari indeks lima kategori tersebut.

Indonesia kini berada di peringkat ke-54 dari 167 negara dengan skor 6,71. Skor ini sama dengan indeks demokrasi tahun 2021 lalu. Namun, peringkat Indonesia turun dari 52 ke 54.

Indonesia berada di bawah Kolombia yang duduk di peringkat ke-53, yakni dengan skor 6,72. Indonesia juga berada di bawah Filipina yang berada di peringkat ke-52 dengan skor 6,73 dan Malaysia di peringkat 40 dengan skor 7,30.

Karena itu pula, Indonesia masih masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy) menurut versi EIU.

Sementara itu, skor demokrasi (freedom score) Indonesia versi Freedom House juga tak membaik. Freedom House, lembaga di Amerika Serikat yang dipakai jasanya oleh banyak pihak untuk mengukur implementasi demokrasi.

Jika dilihat data Freedom House untuk Indonesia dari 2013 sampai 2022, skor demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dari 65 pada 2013 menjadi 59 pada 2022.

Walhasil, Freedom House menetapkan status demokrasi Indonesia sebagai "partly free" alias belum sepenuhnya demokratis.

Secara terperinci, indeks demokrasi versi Freedom House diukur berdasarkan pelaksanaan dan perkembangan tiga aspek demokrasi, yakni kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga-lembaga demokrasi.

Jika didalami, parameter yang diterapkan Badan Pusat Statistik (BPS) hampir sama atau mungkin berasal dari parameter yang dipakai oleh Freedom Institute dalam menelurkan Freedom Score dunia.

Perbedaannya, Freedom Score fokus kepada dua parameter utama, yakni hak-hak politik (political right) dan kebebasan sipil (civil liberties) dengan rentang satu sampai tujuh untuk klarifikasi umum dan nol sampai empat untuk klarifikasi teknis.

Sebuah negara atau wilayah diberikan angka 0 sampai 4 poin untuk masing-masing dari 10 indikator hak politik (political right) dan 15 indikator kebebasan sipil (civil liberties), yang semuanya ditampilkan dalam bentuk pertanyaan. Skor 0 mewakili tingkat kebebasan terendah dan 4 mewakili kebebasan tertinggi.

Pertanyaan terkait political right dikelompokkan menjadi tiga subkategori: Proses Pemilu (3 pertanyaan), Pluralisme Politik dan Partisipasi (4 pertanyaan), dan Fungsi Pemerintah (3 pertanyaan).

Sementara itu, pertanyaan terkait kebebasan sipil (civil liberties) dikelompokkan menjadi empat subkategori: Kebebasan Berekspresi dan Keyakinan (4 pertanyaan), Hak-hak Asosiasi dan Organisasi (3 pertanyaan), Aturan Hukum (4 pertanyaan), dan Otonomi Khusus dan Hak Individu (4 pertanyaan).

Pada bagian political right juga ditambahkan dua pertanyaan discretionary. Untuk pertanyaan discretionary A tambahan, skor 1 sampai 4 dapat ditambahkan, jika memang kondisi lapangan mengalami peningkatan.

Sedangkan untuk pertanyaan discretionary B, skor 1 sampai 4 dapat dikurangkan, jika ada (semakin buruk situasinya, semakin banyak poin yang dapat dikurangkan, misalnya) .

Skor tertinggi yang dapat diberikan kepada daftar checklist political right adalah 40 (atau total skor 4 untuk masing-masing dari 10 pertanyaan).

Skor tertinggi yang bisa diberikan terhadap daftar checklist civil liberties adalah 60 (atau total skor 4 untuk masing-masing dari 15 pertanyaan).

Biasanya dalam peninjauan, skor dari edisi sebelumnya digunakan sebagai patokan untuk tahun berjalan.

Dan skor biasanya berubah jika ada perkembangan sepanjang tahun yang mengindikasikan adanya penurunan atau perbaikan (misalnya, tindakan kekerasan terhadap media, pemilihan bebas dan adil), meskipun perubahan kondisi yang dinilai tidak mendadak (dadakan) alias secara bertahap.

Freedom score yang pada setiap tahun dirilis oleh Freedom Institute menggunakan sistem pemeringkatan tiga tingkat, terdiri dari scoring, rating, dan status.

Daftar lengkap pertanyaan yang digunakan dalam proses penilaian kemudian dikonversi ke dalam angka di tabel untuk selanjutnya mengubah score menjadi rating dan dari rating menjadi status.

Sebuah negara atau wilayah diberi dua peringkat (1-7), satu untuk hak politik dan satu untuk kebebasan sipil, berdasarkan total skor untuk pertanyaan hak politik dan kebebasan sipil.

Peringkat 1 mewakili tingkat kebebasan terbesar dan 7 untuk tingkat kebebasan terkecil, sesuai dengan rentang skor total tertentu.

Dari kumulasi nilai tersebut maka lahirlah freedom score sebuah negara, yang dalam kajian pada umumnya kerap disebut dengan istilah indeks demokrasi.

Sementara itu, BPS menggunakan klasifikasi numerik tingkat demokrasi dengan tiga kategori, yakni “baik” (indeks > 80), “sedang” (indeks 60-80), dan “buruk” (indeks < 60) dalam skala 0 hingga 100.

BPS pun menambahkan parameter institusi demokrasi yang digunakan untuk mengukur tingkat kinerja lembaga-lembaga demokrasi di sebuah negara, atau di sebuah daerah.

Dengan metodologi dan cara kerja yang tidak mudah tersebut, rasanya agak sulit untuk mengatakan indeks demokrasi yang dirilis oleh BPS sebagai sebuah hasil survei yang kurang kredibel.

Dengan kata lain, indeks demokrasi versi BPS juga layak dijadikan acuan, walaupun tetap dalam cara pandang kritis, karena BPS adalah bagian dari pemerintah.

Tentu butuh justifikasi yang benar-benar mumpuni untuk membantahnya alias tidak melulu emosional dalam menanggapinya, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa kepala daerah saat mengetahui bahwa BPS melabeli daerahnya kurang demokratis.

Alih-alih mengontroversikan indeks demokrasi, toh bukankah lebih baik dijadikan salah satu acuan untuk terus memperbaiki kinerja demokrasi di daerah.

Pertanyaannya kemudian, jika Indeks demokrasi saja terus memburuk, lantas bagaimana dengan kualitas demokrasi (quality of democracy) kita?

Memang, indeks demokrasi adalah satu hal, sementara kualitas demokrasi adalah hal lainnya. Namun keduanya punya keterkaitan yang sangat erat.

Biasanya para peneliti kualitas demokrasi menjadikan data indeks demokrasi sebagai acuan awal.

Nah, masalahnya, bahkan saat indeks demokrasi baik sekalipun, justru masih terbuka peluang kualitasnya buruk. Apalagi jika indeksnya buruk, bukankah kemungkinan kualitas demokrasi yang lebih buruk juga sangat besar peluangnya?

Sebagai gambaran, pada tahun 2009 lalu, William Case (saat ini sebagai Profesor Politik di Hong Kong University), pernah memberi label demokrasi kualitas rendah atau low quality democracy kepada Indonesia, meskipun waktu itu Freedom Institute memberi Indonesia skor baik sebagai negara dengan kategori “free”.

Menurut Case, meskipun Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menyandang predikat free berdasarkan penilaian Freedom House, tapi hal itu tidak serta merta berkorelasi positif dengan kualitas demokrasi pada tataran operasional.

Secara faktual, demokrasi Indonesia baru sebatas demokrasi dengan tingkat kualitas rendah (low quality democracy), demikian kesimpulan William Case waktu itu.

Mengapa? Karena, masih menurut Case, legislator dan pemimpin partai politik, meski telah terpilih melalui proses demokrasi elektoral yang relatif jujur, adil dan kompetitif, namun tidak menghasilkan output yang suportif untuk perbaikan kehidupan publik.

Mereka justru sibuk dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya serta mengedepankan koalisi-koalisi yang justru mengompromikan kepentingan masing-masing kelompok.

Parahnya lagi, tulis Wiliam Case, para wakil-wakil terpilih tersebut bukan saja mengesampingkan public good, tapi juga lebih banyak mengakomodasi kepentingan petinggi-petinggi birokrasi dan kelompok-kelompok pengusaha untuk konsesi-konsesi yang menguntungkan pribadi atau partai (William Case, The Pacific Review,Vol.22 No.3 July 2009).

Lantas apa dan bagaimana parameter kualitas demokrasi tersebut? Apa itu kualitas demokrasi?

Secara teoritik, sebagaimana diungkapkan oleh Leonardo Marlino, Profesor Ilmu Politik Barcelona University (Marlino, 2003), kualitas demokrasi (Quality of Democracy/QoD) bisa dinilai dari tiga perspektif, yakni prosedur (institusi demokrasi), content (efektifitas), dan hasil (outputs).

Tiga cara pandang ini nantinya akan melahirkan tiga tolak ukur yang saling tergantung dan memengaruhi dalam menentukan kualitas demokrasi sebuah negara, yakni "Rule of Law", "Accountability", dan "Responsiveness".

Kemudian, dari cara pandang teoritik ini bisa disimpulkan bahwa penerapan Rule of Law yang rendah cenderung membuat kualitas Accountability seorang pemimpin atau institusi demokrasi juga rendah.

Dan jika tingkat dan kualitas Accountability rendah, maka Responsiveness (kepekaan) pemimpin dan para pembuat kebijakan terhadap publik juga rendah.

Jadi sangat bisa dipahami mengapa pelan-pelan pemerintahan di era Jokowi mulai dipertanyakan komitmennya tentang demokrasi.

Karena, pembangunan dari sisi hukum (rule of law/law enforcement) sangat jauh tertinggal di belakang jika dibandingkan dengan pembangunan ekonomi dan SDM, misalnya.

Sebagaimana rumusan kualitas demokrasi di atas, penerapan Rule of Law yang rendah akan cenderung mendegradasi akuntabilitas dan responsivitas pemerintah atas aspirasi publik. Karena itu, demokrasi kita juga cenderung terdegradasi.

Jabatan kepala desa mulai minta ditambah jadi 9 tahun. Posisi gubernur mulai dipertanyakan dan diaspirasikan untuk dihapus.

Dan yang lebih berbahaya, isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode tak pernah benar-benar berhenti digaungkan.

Kerikil-kerikil demokrasi ini berpeluang mengaburkan niat Indonesia untuk terus mengonsolidasikan demokrasi. Sangat disayangkan.

https://nasional.kompas.com/read/2023/02/08/05450061/menyoal-dan-mengukur-kualitas-demokrasi-kita

Terkini Lainnya

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah Sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah Sejak 1999

Nasional
PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Nasional
Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Nasional
Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Nasional
Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam Atas Inisiatif Prabowo

Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam Atas Inisiatif Prabowo

Nasional
Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Nasional
Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Nasional
CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

Nasional
Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Nasional
Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Nasional
Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Nasional
Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke