"Sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden, tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Ismail dalam keterangan tertulisnya pada Kamis.
Setara Institute juga menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM.
Menurut Ismail, fakta ini adalah dampak dari ketiadaan mandat pemenuhan hak atas kebenaran (right to the truth) sebagai dasar untuk menentukan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses peradilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non-yudisial.
Baca juga: Kontras: Tanpa Langkah Konkret, Pengakuan Jokowi Soal Pelanggaran HAM Berat Tak Ada Artinya
Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial.
"Ada lompatan logika yang dipraktikkan oleh pemerintah, yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran namun telah mengambil jalur non-yudisial sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas," kata Ismail.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, penyelesaian secara yudisial terhadap pelanggaran HAM berat tergantung dari bukti-bukti yang ada.
"Ya itu kan nanti apa, tergantung data bukti-bukti yang ada," ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis.
Yasonna mengungkapkan, dalam konteks pelanggaran HAM berat ada hal-hal yang tidak bisa dilanjutkan secara pro justitia.
Namun, menurut dia, bukan berarti pemerintah tidak ingin menyelesaikan.
"Ini sekarang kita non-yudisial dulu," katanya.
Baca juga: Soal Penyelesaian Yudisial Pelanggaran HAM Berat, Menkumham: Tergantung Bukti-bukti
Yasonna menambahkan, keputusan pengakuan negara mengenai pelanggaran HAM berat dibuat oleh orang-orang kredibel yang tergabung dalam Tim PPHAM.
Hal tersebut menguatkan komitmen pemerintah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
"Ini kan yang membuat keputusan ini kan orang-orang yang sangat kredibel. Jadi saya kira kita yang pasti pemerintah sangat berkeinginan menyelesaikan itu," ujar Yasonna.
Diketahui, Presiden Jokowi menerima laporan dari Tim PPHAM di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023).
Jokowi mengatakan, dirinya sudah secara saksama membaca laporan tersebut.
Baca juga: Laporan PPHAM: Tak Ada Faktor Tunggal Penyebab Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Dari laporan yang diberikan oleh PPHAM, Presiden mengakui bahwa pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi dalam keterangannya usai menerima laporan Tim PPHAM.
"Dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada 12 peristiwa," katanya melanjutkan.
Kepala Negara kemudian merinci 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang dimaksud. Ke-12 peristiwa terjadi dalam rentang waktu sejak 1965 hingga 2003.
Baca juga: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat, Menkumham: Sekarang Non-yudisial Dulu
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.