Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keraguan Aktivis akan Janji Pemerintah Selesaikan Kasus HAM Berat secara Hukum

Kompas.com - 13/01/2023, 09:23 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, para aktivis HAM menyampaikan kekhawatirannya.

Aktivis ragu bahwa pengakuan dari negara tidak akan berujung pada penyelesaian pelanggaran HAM secara yudisial atau penyelesaian hukum.

Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyati mengatakan, ada kekhawatiran pengakuan Presiden Jokowi atas pelanggaran HAM berat hanya berakhir pada penyelesaian non-yudisial.

Sebab, pengakuan pelanggaran HAM berat hanya merupakan pembaruan dari janji lama.

"Kami khawatir pernyataan Presiden Jokowi yang berangkat dari rekomendasi Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) dikhawatirkan hanya sebagai gula-gula yang menempatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat hanya mendorong pada mekanisme non-yudisial," ujar Fatia, dilansir dari siaran pers di laman resmi Kontras, Kamis (12/1/2023).

Baca juga: Pemerintah Segera Bentuk Satgas untuk Kawal Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat

"Sekaligus mewajarkan praktik pengabaian terhadap pengadilan HAM yang buruk terjadi selama ini. Ditambah pembiaran terhadap tidak dilakukannya reformasi kelembagaan yang selama ini menjadi aktor pelanggaran HAM berat," katanya lagi.

Pada dasarnya, kata Fatia, rekomendasi perihal pengakuan atas adanya kejahatan kemanusiaan bukanlah hal baru.

Sebab, sejak 1999, Komnas HAM sudah menyampaikan rekomendasi yang serupa kepada presiden saat itu.

"Bahkan, tidak hanya sekadar pengakuan, melainkan permintaan maaf, mengingat pelanggaran HAM berat adalah akibat penyalahgunaan kekuasaan badan/pejabat pemerintahan," ujar Fatia.

Baca juga: Amnesty International: Hukum Pelaku Pelanggaran HAM Berat Satu-satunya Cara Mencegah Peristiwa Terulang

Harus ada langkah konkret

Lebih lanjut, Fatia mengatakan, pengakuan dan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dapat berdiri sendiri.

Pengakuan dan permintaan maaf tersebut harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan.

Fatia menegaskan bahwa pengakuan dan penyesalan Presiden Joko Widodo terhadap pelanggaran HAM berat tidak ada artinya jika tak disertai langkah konkret.

Menurut dia, langkah konkret berupa pertanggungjawaban hukum dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat sangat diperlukan.

"Kami memandang bahwa pengakuan dan penyesalan yang disampaikan Presiden Jokowi tentu tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan langkah konkret pertanggungjawaban hukum dan akuntabilitas negara dalam menyesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," ujarnya.

Baca juga: Kontras Khawatir Pengakuan Jokowi soal Pelanggaran HAM Berat Berakhir di Jalur Non-yudisial

Hanya beri dampak politik ke Presiden

Sementara itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani mengatakan, pengakuan Presiden Jokowi soal pelanggaran HAM berat hanya bagian dari aksesori politik dalam memenuhi janji kampanye pada 2014.

"Sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden, tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Ismail dalam keterangan tertulisnya pada Kamis.

Setara Institute juga menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM.

Menurut Ismail, fakta ini adalah dampak dari ketiadaan mandat pemenuhan hak atas kebenaran (right to the truth) sebagai dasar untuk menentukan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses peradilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non-yudisial.

Baca juga: Kontras: Tanpa Langkah Konkret, Pengakuan Jokowi Soal Pelanggaran HAM Berat Tak Ada Artinya

Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial.

"Ada lompatan logika yang dipraktikkan oleh pemerintah, yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran namun telah mengambil jalur non-yudisial sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas," kata Ismail.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (6/12/2022).Kompas.com/ Dian Erika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (6/12/2022).

Penyelesaian yudisial tergantung bukti

Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, penyelesaian secara yudisial terhadap pelanggaran HAM berat tergantung dari bukti-bukti yang ada.

"Ya itu kan nanti apa, tergantung data bukti-bukti yang ada," ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis.

Yasonna mengungkapkan, dalam konteks pelanggaran HAM berat ada hal-hal yang tidak bisa dilanjutkan secara pro justitia.

Namun, menurut dia, bukan berarti pemerintah tidak ingin menyelesaikan.

"Ini sekarang kita non-yudisial dulu," katanya.

Baca juga: Soal Penyelesaian Yudisial Pelanggaran HAM Berat, Menkumham: Tergantung Bukti-bukti

Yasonna menambahkan, keputusan pengakuan negara mengenai pelanggaran HAM berat dibuat oleh orang-orang kredibel yang tergabung dalam Tim PPHAM.

Hal tersebut menguatkan komitmen pemerintah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.

"Ini kan yang membuat keputusan ini kan orang-orang yang sangat kredibel. Jadi saya kira kita yang pasti pemerintah sangat berkeinginan menyelesaikan itu," ujar Yasonna.

Diketahui, Presiden Jokowi menerima laporan dari Tim PPHAM di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023).

Jokowi mengatakan, dirinya sudah secara saksama membaca laporan tersebut.

Baca juga: Laporan PPHAM: Tak Ada Faktor Tunggal Penyebab Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

Dari laporan yang diberikan oleh PPHAM, Presiden mengakui bahwa pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia.

"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi dalam keterangannya usai menerima laporan Tim PPHAM.

"Dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada 12 peristiwa," katanya melanjutkan.

Kepala Negara kemudian merinci 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang dimaksud. Ke-12 peristiwa terjadi dalam rentang waktu sejak 1965 hingga 2003.

Baca juga: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat, Menkumham: Sekarang Non-yudisial Dulu

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com