JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang anak berinisial DS disebut turut menjadi korban dari kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP-HAM) membenarkan bahwa DS turut disiksa dan dieksploitasi sebagaimana korban lain.
Bahkan, DS juga disebut telah dihadirkan untuk bersaksi dalam persidangan persidangan.
"Jumlah total keseluruhan anak, TAP-HAM tidak mendapatkan data secara detail. Dari proses persidangan, TAP-HAM mendapatkan fakta bahwa dalam agenda pemeriksaan saksi terdapat anak korban berinisial DS," kata anggota Divisi Hukum Kontras, Andrie Yunus, kepada Kompas.com pada Senin (21/11/2022) malam.
Baca juga: 4 Terdakwa Kasus Kerangkeng Manusia Dituntut 3 Tahun Penjara, Kontras: Melukai Rasa Keadilan
Andrie mengatakan, DS yang saat ini duduk di bangku kelas XII ini mulanya dititipkan oleh orangtuanya karena diduga menggunakan narkotika.
Kerangkeng manusia milik Terbit Rencana Parangin Angin memang kerap dianggap sebagai tempat rehabilitasi meskipun belakangan terbukti sebagai ajang eksploitasi dan penyiksaan.
"Orangtuanya kemudian menyerahkan DS dengan dengan menandatangani perjanjian di atas materai, mewajibkan 1 tahun 6 bulan," kata Andrie.
"Dan jika terjadi sesuatu seperti sakit atau meninggal dunia maka tanggung jawabnya tidak dibebankan kepada pembina/petugas kerangkeng," ujarnya lagi.
Baca juga: Berkas 8 Tersangka Kerangkeng Bupati Langkat Dinyatakan P21
Investigasi Kontras dan TAP-HAM, juga sebelumnya oleh Komnas HAM, menemukan bahwa korban-korban kerangkeng manusia ini disiksa dengan ragam perlakuan tak manusiawi.
Menurut Andrie, ada semacam prosedur bagi para "anak kereng", sebutan bagi orang-orang yang dikurung di kerangkeng, untuk disiksa selama 1-2 pekan sebagai "masa orientasi".
Naas, DS juga mengalami hal serupa kendati usianya masih anak-anak.
"Bentuk penyiksaan yang mereka alami sama seperti yang dialami korban orang dewasa. Ketika di awal masuk mendapatkan tindak penyiksaan dengan dalih orientasi maupun tindak penyiksaan sebagai penghukuman terhadap penghuni yang kabur atau melarikan diri," kata Andrie.
Baca juga: Kontras Kritik Anak Bupati Langkat Nonaktif Tak Didakwa Pasal TPPO di Kasus Kerangkeng Manusia
Andrie menambahkan, DS pernah mengalami kuku kakinya ditindih dengan kaki kursi yang diduduki petugas. Rambutnya juga digunduli.
"Itu terjadi pada DS ketika kabur. Orangtuanya DS yang mengetahuinya karena kabur, diancam oleh petugas untuk menyerahkan DS kembali," ujar Andrie.
Ketika kembali, DS lagi-lagi disiksa karena dianggap telah berupaya kabur.