JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyoroti ringannya tuntutan jaksa terhadap 4 terdakwa kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin.
Keempat terdakwa itu adalah Dewa Perangin-angin (anak Terbit), Hendra Surbakti, Herman Sitepu, dan Iskandar Sembiring yang didakwa tiga tahun penjara dengan pasal penganiayaan hingga tewas alih-alih Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
"Tuntutan ringan terhadap terdakwa jelas telah melukai rasa keadilan publik," ujar Pegiat Kajian dan Penelitian KontraS Sumatera Utara, Rahmat Muhammad, dalam jumpa pers, Senin (21/11/2022).
"Sebagaimana kita ketahui bahwa kasus kerangkeng manusia telah beroperasi selama belasan tahun dan terdapat banyak korban. Peristiwa ini seharusnya diganjar dengan tuntutan hukum yang maksimal," katanya lagi.
Baca juga: Kontras Kritik Anak Bupati Langkat Nonaktif Tak Didakwa Pasal TPPO di Kasus Kerangkeng Manusia
Kontras mencurigai bahwa disetujuinya restitusi (ganti rugi terhadap korban) oleh majelis hakim menjadi alasan di balik ringannya tuntutan jaksa atas para terdakwa.
Rahmat mengatakan, semestinya seberapa besar apapun restitusi itu tidak berkorelasi dengan besarnya tuntutan. Pasalnya, restitusi adalah hak korban yang harus diberikan oleh pelaku yang tak ada urusannya dengan masa hukuman.
"Majelis hakim telah menerima uang pengganti kerugian pada 2 November. Terdakwa telah dimohonkan pertanggungjawaban restitusi oleh LPSK melalui JPU (jaksa penuntut umum)," kata Rahmat.
"Penasihat hukum telah menyerahkan uang sebesar Rp 530 juta dengan skema pembagian Rp 265 juta untuk korban atas nama Sarianto Ginting," ujarnya lagi.
Baca juga: Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin Divonis 9 Tahun Penjara
Rahmat cs juga menyoroti dikenakannya pasal penganiayaan hingga tewas terhadap empat terdakwa ini, alih-alih pasal TPPO.
Secara khusus, sorotan diarahkan kepada Dewa Perangin Angin yang dianggap terlibat dalam eksploitasi para korban kerangkeng manusia ini.
Menurutnya, Dewa merupakan pemilik kebun sawit tempat di mana korban kerangkeng bekerja tanpa diupah. Oleh karena itu, seharunya dijerat dengan pasal TPPO.
"Secara tidak langsung dia memperbudak di perusahaan tersebut," ujar Rahmat.
"Terkait TPPO ini tidak menyasar intelektual yang kita anggap penting. Ada aktor-aktor yang terlibat yang justru tidak disasar dengan pasal-pasal yang kita anggap penting," katanya lagi.
Baca juga: Kasus Kerangkeng Manusia di Langkat, Terbit Rencana Bisa Sesuka Hati Masukkan Orang ke Sel
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.