JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito memaparkan terdapat 6 celah dalam sistem jaminan keamanan dan mutu obat yang dimanfaatkan pemasok dan pelaku industri farmasi yang nakal.
Celah itu dianggap memicu kasus obat sirup tercemar etileng glikol (EG) dan dietilen glikol (DG) sehingga menyebabkan gagal ginjal akut yang merenggut nyawa lebih dari 100 anak.
"Jadi bukan karena BPOM tidak melakukan pengawasan tapi karena aturan yang ada sekarang tidak ada dalam pengawasan BPOM, pada titik awal terjadinya kejahatan ini. terjadinya kasus ini, adanya pemasokan yang tidak memenuhi ketentuan dan kemudian terdistribusikan," kata Penny dalam konferensi pers di Gedung BPOM, Jakarta Pusat, Kamis (17/11/2022).
Baca juga: BPOM: Pihak PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Sudah Ditetapkan Jadi Tersangka
Celah yang pertama, kata Penny, adalah segi pemasukan bahan pelarut yang merupakan komoditi non-lartas (pelarangan terbatas) tidak melalui pengawasan dan tidak memiliki Surat Keterangan Impor (SKI) BPOM.
Lantas celah kedua menurut Penny adalah tidak adanya ketentuan batas cemaran EG/DEG dalam produk obat jadi pada Farmakope Indonesia maupun internasional.
Lalu yang ketiga, kondisi maturitas industri farmasi yang beragam yang harus dijadikan dasar untuk penetapan kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas dan ekonomi.
Kemudian yang keempat adanya kelangkaan (shortage) bahan baku obat dan perbedaan harga antara pelarut standar farmasi (pharmaceutical grade) dengan standar kimia (chemical grade) dalam periode tertentu yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
Baca juga: Kasus Gagal Ginjal Akut, Bos CV Samudera Chemical Melarikan Diri
Selanjutnya yang kelima, sistem pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) tidak digunakan oleh tenaga Kesehatan.
Lantas yang terakhir, tidak adanya efek jera dari perkara hukum selama ini pada kasus kejahatan obat dan makanan karena belum pernah ada bukti yang menyebabkan kematian.
Penny juga menampik lembaga yang dipimpinnya kecolongan dalam pengawasan obat sirup yang menyebabkan gagal ginjal akut (acute kidney injury atau AKI) pada anak.
Akan tetapi dia mengakui, ada celah dalam sistem jaminan keamanan dan mutu obat dari hulu ke hilir yang melibatkan banyak pihak.
Baca juga: Kasus Gagal Ginjal, Anggota Komisi III Minta Polisi Tidak Tebang Pilih Tetapkan Tersangka
Celah ini yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan obat dan makanan, salah satunya dengan mengoplos bahan baku obat tidak sesuai standar.
"Kami menyatakan bahwa BPOM tidak kecolongan, dikaitkan dengan aspek kejahatan, ini aspek kejahatan obat," ucap Penny.
"Sistem pengawasan yang telah dilakukan BPOM sudah sesuai ketentuan," kata Penny lagi.
Penny menuturkan, celah sistem keamanan dan jaminan mutu ini melibatkan BPOM, perusahaan farmasi, pemasok bahan baku, importir bahan baku obat, dan distributor yang menyuplai bahan baku sampai ke perusahaan farmasi.
Baca juga: Jadi Tersangka Kasus Gagal Ginjal, PT Afi Farma Diduga Tak Lakukan Quality Control
Dia mengatakan, sebelum mendistribusikan bahan baku, distributor kimia yang sudah mendapat sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) harus menguji terlebih dahulu keamanan bahan baku.
Perusahaan farmasi juga perlu melakukan pengujian sebelum menggunakannya untuk memproduksi obat.
Saat melakukan impor bahan baku pun, BPOM akan mengawasi dengan menerbitkan Surat Keterangan Impor (SKI).
SKI hanya berlaku untuk satu kali impor atau satu kali pemasukan barang. Importir harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan SKI pada setiap kali importasi.
Baca juga: PT Afi Farma dan CV Chemical Samudera Ditetapkan sebagai Tersangka Kasus Gagal Ginjal
"Di sini ada satu gap, gap itu sesuatu kesenjangan yang mana BPOM tidak terlibat dalam pengawasan. Kalau BPOM terlibat dalam pengawasan pemasokan dari bahan pelarut, pastinya ada pengawasan yang dilakukan pemasukan dengan surat keterangan impor," tutur Penny.
"Kalau dilakukan dengan surat keterangan impor itu, pasti sudah ada pengawasan dari BPOM di awal," ujar Penny.
BPOM menjadi sorotan usai kasus gagal ginjal akut akibat keracunan obat sirup merebak pada Agustus 2022.
Penny bahkan diminta mundur karena dianggap lalai melakukan pengawasan.
Hingga 15 November 2022, kasus gagal ginjal akut mencapai 324 kasus dengan jumlah pasien yang meninggal mencapai 199 orang.
Baca juga: Digugat ke PTUN, BPOM Akan Didampingi Pihak Kejagung
Tidak ada penambahan kasus dalam 2 minggu terakhir, tepatnya pada periode 2-15 November 2022.
Sementara itu, jumlah pasien yang masih dirawat sebanyak 14 orang, dan jumlah pasien sembuh sebesar 111 orang. Kasusnya masih tersebar di 27 provinsi.
Saat ini terdapat 4 perusahaan yang ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus obat sirup tercemar EG dan DEG melebihi ambang batas aman dan memicu gagal ginjal akut pada anak-anak.
Para tersangka adalah 3 perusahaan farmasi yakni PT Afi Farma, PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, serta satu perusahaan kimia yaitu CV Samudera Chemical yang diduga mengoplos bahan pelarut obat sirup.
Menurut BPOM terdapat 2 perusahaan farmasi yang masih disidik, yakni PT Samco Farma dan PT Ciubros Farma.
Baca juga: Daftar Lengkap 294 Obat Sirup yang Dinyatakan Aman BPOM: Ada Rhinos, Sanmol, hingga Mylanta
Sebelumnya, BPOM sudah melakukan penindakan dengan mencabut izin edar tiga perusahaan farmasi, yaitu PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afi Farma.
Kemudian pada pekan lalu, BPOM kembali menarik dan memusnahkan produksi obat sirup yaitu PT Samco Farma dan PT Ciubros Farma.
Pemusnahan ini dilakukan terhadap seluruh batch produk obat sirup yang mengandung cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas.
Produk sirup obat lainnya dari dua industri farmasi tersebut yang menggunakan pelarut tambahan juga dihentikan produksi dan distribusinya sampai ada perkembangan lebih lanjut terkait hasil uji dan pemeriksaan CPOB.
Baca juga: BPOM Sebut 25 Persen Industri Farmasi Masuk Kategori Perlu Tingkatkan Ketentuan CPOB
Di samping pemberian sanksi administratif, BPOM akan melakukan pendalaman terhadap potensi pelanggaran hukum lainnya.
Lalu, BPOM mencabut sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) milik dua pedagang besar farmasi (PBF), yaitu PT Megasetia Agung Kimia PT Tirta Buana Kemindo.
Kedua distributor itu telah menyalurkan bahan baku propilen glikol yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang tidak memenuhi syarat.
(Penulis : Fika Nurul Ulya | Editor : Bagus Santosa)
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.