MAJELIS Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 11 Juli 2022 membuat ketetapan atas pengunduran diri Komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar. Ketetapan tersebut muncul setelah sekian lama kasus dugaan pelanggaran etik Lili menggantung dengan berbagai dalih. Majelis Etik yang juga terdiri dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengatakan, penyebab kasusnya berlarut-larut adalah proses penyidikan kasus memang butuh waktu lama.
Di sisi lain tak dapat dinafikan ada upaya dari Lili untuk menghindari proses sidang etik. Lili misalnya mangkir dari sidang yang dijadwalkan Majelis Etik KPK pada 5 Juli 2022.
Siasat Lili tampak manjur, ia ‘lolos’ dari sidang etik Dewas KPK. Dengan jalan pengunduran diri yang kemudian ditimpali Keputusan Presiden RI Nomor 71/P/2022 yang berisi pemberhentian terperiksa Lili Pintauli Siregar sebagai wakil ketua merangkap anggota KPK RI.
Dengan demikian, Lili sebagai terperiksa tidak lagi berstatus insan KPK yang merupakan subjek hukum sidang etik. Karena itu, sidang dugaan pelanggaran kode etik dan kode perilaku terperiksa Lili tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Majelis Etik KPK.
Baca juga: Lili Pintauli Siregar Mundur dari KPK, Dewas: Sidang Etik Gugur
Menurut Dewas, menindaklanjuti kasus dugaan gratifikasi bukan lagi kewenangannya, sebab unsur insan KPK tidak lagi melekat pada Lili setelah pengunduruan dirinya. Dengan kata lain, kasus tersebut gugur. Buyarlah semua daya upaya Dewas KPK selama ini dengan selembar kertas pengunduran diri Lili.
Sebagaimana diketahui, salah satu tindak lanjut penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah membentuk organ Dewan Pengawas di tubuh KPK. Tujuannya agar insan KPK tidak sewenang-wenang menjalankan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Salah satu tugas Dewan Pengawas adalah menjaga kode etik dan kode perilaku insan KPK. Tugas menyangkut kode etik tersebut termaktub dalam Pasal 37B angka (1), bahwa:
c. “Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;
d. Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan
e. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Dugaan gratifikasi fasilitas tiket dan akomodasi yang dinikmati Lili Pintauli saat menonton MotoGP Mandalika pada Maret 2022 lalu merupakan kasus kedua pelanggaran kode etik yang dilakukan Lili. Sebelumnya, Lili terbukti melanggar etik karena berkomunikasi dengan mantan Walikota Tanjung Balai yang tengah berperkara kasus korupsi.
Berulangnya pelanggaran etik dilakukan orang yang sama menunjukkan tidak ada rasa jera pelaku pasca putusan Majelis Etik. Hal itu juga mencerminkan lemahnya Dewas KPK dalam menegakkan kode etik dan kode perilaku di tubuh KPK.
Baca juga: ICW Desak Dewas KPK Buka Kembali Sidang Etik Dugaan Gratifikasi Lili Pintauli Siregar
Bagaimana tidak. Pelanggaran etik “berkomunikasi dengan pihak berperkara”, meski berkategori sanksi berat, tetapi hanya berupa potongan gaji pokok sebesar 40 persen %atau Rp 1,8 juta per bulan selama setahun. Nominal itu tergolong kecil bila dihitung akumulasi pendapatan yang diterima Wakil Ketua KPK seperti Lili dari gaji pokok dan tunjangan sebesar 112,5 juta per bulan.
Intinya, bagi Lili sanksi itu tidak berdampak apa-apa.
Putusan Majelis Etik terebut menuai kritik karena dinilai hanya sebagai “formalitas” belaka dan cenderung “main aman”. Padahal, kasus pertama itu jika ditelaah lebih jauh adalah tindakan pidana korupsi, mengingat Lili sudah menyalahgunakan jabatannya berkomunikasi dengan tersangka korupsi.