Demikian halnya dengan kasus kedua, yakni dugaan gratifikasi di acara MotoGP. Mestinya tidak berhenti pada sidang kode etik saja tetapi ditarik ke ranah tindak pidana korupsi, berkenaan dengan delik gratifikasi.
Delik gratifikasi diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 yang mendefinisikan gratifikasi sebagai “Pemberian dalam arti luas, yakni pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.”
Jadi, jelas tiket dan akomodasi untuk nonton MotoGP yang diperoleh Lili secara gratis dari Pertamina merupakan bentuk gratifikasi. Maka, sebagaimana KPK menangkap pejabat yang melakukan praktik gratifikasi, hal serupa mestinya berlaku bagi pimpinan KPK yang melakukan gratifikasi. Jangan sampai KPK hanya tajam ke luar tapi tumpul ke dalam.
Kedua kasus di atas mencerminkan lemahnya Dewas KPK. Karena itu, kinerja Dewas patut dipertanyakan. Perlu dicatat, gugurnya sidang dugaan gratifikasi MotoGP dengan terperiksa Lili Pintauli bukan hanya tentang pengunduran Lili semata, tapi juga menyangkut kemunduran marwah KPK.
Tak berlebih menyebut bahwa marwah KPK sebagai lembaga penegak hukum pemberantasan korupsi semakin terdegradasi di mata publik karena kasus Lili itu. Bagaimana mungkin KPK dapat menegakkan hukum tindak pidana korupsi jika pimpinan KPK sendiri diduga korup tetapi tidak diproses hukum?
Sepatutnya Lili Pintauli tetap disidang atas dugaan gratifikasi yang dilakukannya. Dalih persidangan gugur karena terperiksa telah mengundurkan diri, bukan insan KPK lagi, tidak dapat dibenarkan. Lili melakukan pelanggaran etik semasa aktif menjabat komisioner KPK. Unsur tempus delicti (waktu perbuatan terjadi) harus menjadi pertimbangan utama.
Karena itu, Dewas wajib bertanggung jawab menyelesaikan setiap pelanggaran kode etik setuntas-tuntasnya. Setidak-tidaknya, Majelis Etik KPK beritikad baik menindaklanjuti dugaan gratifikasi tersebut melalui aparat penegak hukum kepolisian dan kejaksaan agug RI dengan melimpahkan hasil penyidikan. Pertimbangan kasusnya dilimpahakn untuk menghindari konflik kepentingan jika diproses di KPK.
Apabila tidak ditindaklanjuti, kasus gugurnya sidang etik Lili Pintauli akan menjadi celah penegakan kode etik KPK ke depan. Hal itu menumbuhkan sikap pragmatis. Ketika ada yang melanggar kode etik, solusinya cukup mengundurkan diri saja.
Di sisi lain, Dewas KPK penting menyadari perlunya penguatan pencegahan pelanggaran kode etik. Dua kasus Lili bisa jadi pelajaran berharga bahwa hukuman yang diberikan Dewas tidak efektif memberi rasa jera. Rumus pencegahan dan penindakan harus berjalan beriringan dalam pemberantasan korupsi hendaknya tidak hanya diterapkan ke luar KPK saja, tapi juga berlaku ke dalam insan KPK sendiri.
Logika penindakan tegas akan memberi efek jera dan menopang kerja pencegahan, logika setara dalam pelanggaran kode etik harus ditindak tegas demi mencegah kejadian serupa. Karena itu, Dewas KPK wajib mawas diri demi menghidupkan kembali marwah KPK dan mengembalikan kepercayaan publik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.