Salin Artikel

Kasus Lili Pintauli Siregar dan Degradasi Marwah KPK

Di sisi lain tak dapat dinafikan ada upaya dari Lili untuk menghindari proses sidang etik. Lili misalnya mangkir dari sidang yang dijadwalkan Majelis Etik KPK pada 5 Juli 2022.

Siasat Lili tampak manjur, ia ‘lolos’ dari sidang etik Dewas KPK. Dengan jalan pengunduran diri yang kemudian ditimpali Keputusan Presiden RI Nomor 71/P/2022 yang berisi pemberhentian terperiksa Lili Pintauli Siregar sebagai wakil ketua merangkap anggota KPK RI.

Dengan demikian, Lili sebagai terperiksa tidak lagi berstatus insan KPK yang merupakan subjek hukum sidang etik. Karena itu, sidang dugaan pelanggaran kode etik dan kode perilaku terperiksa Lili tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Majelis Etik KPK.

Menurut Dewas, menindaklanjuti kasus dugaan gratifikasi bukan lagi kewenangannya, sebab unsur insan KPK tidak lagi melekat pada Lili setelah pengunduruan dirinya. Dengan kata lain, kasus tersebut gugur. Buyarlah semua daya upaya Dewas KPK selama ini dengan selembar kertas pengunduran diri Lili.

Sebagaimana diketahui, salah satu tindak lanjut penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah membentuk organ Dewan Pengawas di tubuh KPK. Tujuannya agar insan KPK tidak sewenang-wenang menjalankan kerja-kerja pemberantasan korupsi.

Salah satu tugas Dewan Pengawas adalah menjaga kode etik dan kode perilaku insan KPK. Tugas menyangkut kode etik tersebut termaktub dalam Pasal 37B angka (1), bahwa:

c. “Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;

d. Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan

e. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi”.

Berulangnya pelanggaran etik dilakukan orang yang sama menunjukkan tidak ada rasa jera pelaku pasca putusan Majelis Etik. Hal itu juga mencerminkan lemahnya Dewas KPK dalam menegakkan kode etik dan kode perilaku di tubuh KPK.

Bagaimana tidak. Pelanggaran etik “berkomunikasi dengan pihak berperkara”, meski berkategori sanksi berat, tetapi hanya berupa potongan gaji pokok sebesar 40 persen %atau Rp 1,8 juta per bulan selama setahun. Nominal itu tergolong kecil bila dihitung akumulasi pendapatan yang diterima Wakil Ketua KPK seperti Lili dari gaji pokok dan tunjangan sebesar 112,5 juta per bulan.

Intinya, bagi Lili sanksi itu tidak berdampak apa-apa.

Putusan Majelis Etik terebut menuai kritik karena dinilai hanya sebagai “formalitas” belaka dan cenderung “main aman”. Padahal, kasus pertama itu jika ditelaah lebih jauh adalah tindakan pidana korupsi, mengingat Lili sudah menyalahgunakan jabatannya berkomunikasi dengan tersangka korupsi.

Demikian halnya dengan kasus kedua, yakni dugaan gratifikasi di acara MotoGP. Mestinya tidak berhenti pada sidang kode etik saja tetapi ditarik ke ranah tindak pidana korupsi, berkenaan dengan delik gratifikasi.

Delik gratifikasi diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 yang mendefinisikan gratifikasi sebagai “Pemberian dalam arti luas, yakni pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.”

Jadi, jelas tiket dan akomodasi untuk nonton MotoGP yang diperoleh Lili secara gratis dari Pertamina merupakan bentuk gratifikasi. Maka, sebagaimana KPK menangkap pejabat yang melakukan praktik gratifikasi, hal serupa mestinya berlaku bagi pimpinan KPK yang melakukan gratifikasi. Jangan sampai KPK hanya tajam ke luar tapi tumpul ke dalam.

Kemundudran marwah KPK

Kedua kasus di atas mencerminkan lemahnya Dewas KPK. Karena itu, kinerja Dewas patut dipertanyakan. Perlu dicatat, gugurnya sidang dugaan gratifikasi MotoGP dengan terperiksa Lili Pintauli bukan hanya tentang pengunduran Lili semata, tapi juga menyangkut kemunduran marwah KPK.

Tak berlebih menyebut bahwa marwah KPK sebagai lembaga penegak hukum pemberantasan korupsi semakin terdegradasi di mata publik karena kasus Lili itu. Bagaimana mungkin KPK dapat menegakkan hukum tindak pidana korupsi jika pimpinan KPK sendiri diduga korup tetapi tidak diproses hukum?

Sepatutnya Lili Pintauli tetap disidang atas dugaan gratifikasi yang dilakukannya. Dalih persidangan gugur karena terperiksa telah mengundurkan diri, bukan insan KPK lagi, tidak dapat dibenarkan. Lili melakukan pelanggaran etik semasa aktif menjabat komisioner KPK. Unsur tempus delicti (waktu perbuatan terjadi) harus menjadi pertimbangan utama.

Karena itu, Dewas wajib bertanggung jawab menyelesaikan setiap pelanggaran kode etik setuntas-tuntasnya. Setidak-tidaknya, Majelis Etik KPK beritikad baik menindaklanjuti dugaan gratifikasi tersebut melalui aparat penegak hukum kepolisian dan kejaksaan agug RI dengan melimpahkan hasil penyidikan. Pertimbangan kasusnya dilimpahakn untuk menghindari konflik kepentingan jika diproses di KPK.

Apabila tidak ditindaklanjuti, kasus gugurnya sidang etik Lili Pintauli akan menjadi celah penegakan kode etik KPK ke depan. Hal itu menumbuhkan sikap pragmatis. Ketika ada yang melanggar kode etik, solusinya cukup mengundurkan diri saja.

Di sisi lain, Dewas KPK penting menyadari perlunya penguatan pencegahan pelanggaran kode etik. Dua kasus Lili bisa jadi pelajaran berharga bahwa hukuman yang diberikan Dewas tidak efektif memberi rasa jera. Rumus pencegahan dan penindakan harus berjalan beriringan dalam pemberantasan korupsi hendaknya tidak hanya diterapkan ke luar KPK saja, tapi juga berlaku ke dalam insan KPK sendiri.

Logika penindakan tegas akan memberi efek jera dan menopang kerja pencegahan, logika setara dalam pelanggaran kode etik harus ditindak tegas demi mencegah kejadian serupa. Karena itu, Dewas KPK wajib mawas diri demi menghidupkan kembali marwah KPK dan mengembalikan kepercayaan publik.

https://nasional.kompas.com/read/2022/07/14/17254101/kasus-lili-pintauli-siregar-dan-degradasi-marwah-kpk

Terkini Lainnya

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke