Filsuf Niccolo Machiavelli (1469-1527) menulis buku Il Principe (yang kemudian diterbitkan 1532) jelas-jelas menggambarkan sifat kebinatangan (yang buruk) jika mau menjadi pemimpin yang langgeng.
Teksnya kira-kira begini: "Seorang pangeran harus bisa bermain baik sebagai manusia dan sebagai binatang buas... Sang pangeran harus bisa menggunakan kedua kodrat itu... Sang pangeran harus bisa mencontoh rubah dan singa. Jadi dia harus menjadi rubah agar mengenali jerat (jebakan), dan menjadi singa untuk menakut-nakuti serigala".
Bicara serigala tentu ingat diktum "homo homini lupus" yang dipopulerkan Thomas Hobbes. Intinya “manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya”.
Kata Hobbes, serigala merupakan gambaran pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah.
Tetapi jangan salah, si lemah pun bisa berbalik galak terhadap yang kuat itu. Maka sifat serigala digunakan untuk kembali melawan si kuat.
Salah satu teks Hobbes menegaskan, "Karena dalam hal kekuatan fisik, orang yang paling lemah fisiknya pun memiliki cukup kekuatan untuk membunuh orang-orang yang paling kuat, entah dengan cara rahasia atau dengan persekongkolan dengan orang-orang lain yang berada dalam keadaan bahaya yang sama dengan dirinya..."
Selain serigala, ada juga analogi pakai binatang lain. Pemikir kuno menganalogikan sikap manusia identik dengan unggas.
Empat unggas mewakili sikap manusia. Ayam merepresentasikan hawa nafsu, bebek menggambarkan sifat rakus, merak menunjukkan sikap angkuh, dan gagak menunjukkan keinginan.
Ternyata bebek lebih dominan. Artinya keserakahan menguasai hidup manusia. Maka, pemikir itu mengingatkan bahwa tujuan hidup manusia bukanlah untuk berlomba mengumpulkan harta hingga melimpah ruah. Jangan ikuti kerakusan seekor bebek.
Masih banyak analogi lain, tetapi pada dasarnya keburukan kita acap disamakan dengan binatang.
Ini artinya kita menjadi binatang, karena kita mengabaikan akal. Binatang merupakan mahluk tak berakal.
Manakala kita dirongrong sifat kebinatangan, saat itulah tidak memfungsikan akal sebagaimana mestinya.
Maka dari itu, kembali ke khotbah Busyro tadi, senyampang Idul Adha belum jauh meninggalkan kita, ada baiknya kita renungkan kembali simbol-simbolnya.
Menyembelih hewan bukan berarti sekadar mengikuti ajaran agama, tetapi juga punya tekad membakar sifat kebinatangan.
Memang bukan soal mudah. Kita hidup di sekumpulan serigala, dan ada kalanya juga berlaku sebagai serigala. Namun tanpa memulainya, kita tidak akan bisa berubah.
"Itulah hikmah dari sebuah ibadah Idul Adha," kata Busyro mengakhiri khotbahnya dan seperti biasa dia memimpin doa.
Dan tak ada salahnya kita pun menambah doa, semoga Idul Adha menjadi momen untuk membuang sifat kebinatangan kita. Semoga setelah Idul Adha, kita tidak selalu dirongrong sifat kebinatangan. Semoga.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.