SABTU (9/7/2022) pagi, Lapangan Minggiran di Mantrijeron, Yogyakarta, kedatangan ratusan warga yang akan mendirikan shalat Idul Adha 1443 Hijriyah.
Sementara tak jauh dari lapangan itu, sejumlah santri di Pondok Pesantren Krapyak melakukan aktivitas seperti biasa. Tak ada tanda-tanda Shalat Id di pondok tersebut.
Begitulah bila Idul Adha jatuh pada hari berbeda. Minggiran mewakili Muhammadiyah yang ber-Lebaran pada Sabtu dan Pondok Pesantren Krapyak yang bernuansa Nahdlatul Ulama mengikuti keputusan pemerintah untuk merayakan Idul Adha pada Minggu.
Untuk menenangkan umat, para ulama bilang ber-Lebaran pada Sabtu atau Minggu sama saja. Namun bicara soal keyakinan, tetaplah beda.
Mungkin yang dimaksud para ulama itu adalah semangatnya. Hikmah yang bisa diambil dari Idul Adha. Pendidikan dari sebuah ritual kurban. Kapan pun dirayakan, makna Idul Adha tetaplah sama.
Inilah tugas pengkhotbah untuk mengingatkan makna Idul Adha tersebut. Biasanya yang paling banyak disinggung adalah makna berkurban.
Idul Adha mengajari kita untuk ikhlas berkorban. Apapun, mau berkorban tenaga, berkorban pikiran hingga korban materi, hendaknya semua dilaksanakan dengan penuh keikhlasan.
Banyak di antara kita berat mengorbankan materi saking cinta harta di dunia. Nah, semangat berkurban akan mengikis kecintaan terhadap harta.
Hal itu pula disinggung oleh Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, yang menjadi pengkhotbah di Lapangan Minggiran.
Selain menyinggung keikhlasan berkorban, Busyro juga menyampaikan simbol di balik penyembelihan hewan kurban itu.
Di antaranya ketika Nabi Ibrahim menjadikan domba sebagai hewan kurban, hal itu memiliki makna simbolik contoh kepada umat manusia untuk membakar sifat-sifat kebinatangan.
Pada diri kita, jika bicara sejujurnya, menempel sifat kebinatangan tersebut. Memang ada pula gambaran bagus. Kita hendaknya mau bergotong royong sebagaimana koloni semut.
Celakanya, acap digambarkan sifat yang jelek. Apapun keburukan binatang, ditempelkan kepada manusia.
Kadang kita jadi kejam, saat lain berubah rakus, dan acap pula menjadi mahluk tak berakal seperti binatang.
Sejak zaman dulu para pemikir acap menggambarkan sifat manusia dengan karakter binatang.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.