Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Moeldoko: Pemerintah Finalisasi Draf Kebijakan Non-yudisial untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu

Kompas.com - 18/05/2022, 16:43 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Bagus Santosa

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan, pemerintah saat ini sedang menyelesaikan draf kebijakan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan mekanisme non-yudisial.

Dengan pendekatan ini, pemerintah berharap kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II bisa terselesaikan.

"Pemerintah melalui Kemenko Polhukam sedang memfinalisasi draf kebijakan yang non-yudisial (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) dan memastikan Pengadilan HAM Paniai berjalan," ujar Moeldoko saat menerima mahasiswa Trisakti sebagaimana dilansir dari siaran pers KSP, Rabu (18/5/2022).

"Dengan pendekatan ini, kami berharap kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Kasus Mei 98 dan lain-lain bisa turut terselesaikan," lanjutnya.

Baca juga: Temui Moeldoko, Mahasiswa Trisakti Bahas Sejumlah Kasus HAM Masa Lalu

Moeldoko menuturkan, kasus Trisakti 1998 termasuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu yang idealnya diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial.

Kasus tersebut dapat diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Dia menjelaskan, pemerintah tidak tinggal diam dan tetap menjadikan pelanggaran HAM masa lalu sebagai prioritas.

Pemerintah terus mengupayakan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM yang berat, baik secara yudisial maupun non yudisial.

"Penyelesaian secara yudisial akan digunakan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat baru (terjadi setelah diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)," ungkap Moeldoko.

"Sedangkan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu (terjadi sebelum November 2000) akan diprioritaskan dengan penyelesaian melalui pendekatan non-yudisial. Seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," jelasnya.

Baca juga: Temui Moeldoko, Mahasiswa Trisakti Bahas Sejumlah Kasus HAM Masa Lalu

Moeldoko menyebutkan, UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memang memungkinkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pengadilan.

Tetapi, tentu harus menunggu putusan politik oleh DPR.

"DPR yang bisa menentukan apakah sebuah UU bisa diterapkan secara retroaktif, atau diberlakukan secara surut. Jadi pemerintah menunggu sikap politik DPR," katanya.

Kepada perwakilan mahasiswa Trisakti, Moeldoko juga menyatakan, meskipun pengadilan belum bisa digelar, pemerintah tetap mengupayakan agar para korban tetap mendapatkan bantuan dan pemulihan dari negara.

"Oleh karenanya pada 12 Mei lalu BUMN memberikan bantuan perumahan kepada 4 keluarga korban Trisakti. Ini bentuk kepedulian dan kehadiran negara di hadapan korban," tegasnya.

Baca juga: Moeldoko Ingatkan Petugas Jangan Sampai Masyarakat Jengkel karena Tak Ada Antisipasi Mobilitas Mudik Lebaran

Diberitakan Kompas.com, demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan Orde Baru terjadi pada 12 Mei 1998 atau 24 tahun yang lalu. 

Kejadian tersebut lalu dikenal dengan Tragedi Trisakti, karena terdapat empat mahasiswa dari Universitas Trisakti yang meninggal dunia dalam peristiwa itu.

Keempat mahasiswa tersebut tewas tertembak di dalam kampus saat mengikuti demonstrasi yang menuntut turunnya Soeharto dari jabatan presiden.

Cara aparat dalam meredakan demonstrasi para aktivis waktu itu mendapat sorotan dan hingga kini keadilan bagi keluarga korban Tragedi Trisakti pun masih dinanti.

Akibat kejadian tersebut, membuat perlawanan mahasiswa dalam menuntut reformasi semakin besar.

Puncaknya pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatannya, serta menandai akhir dari rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com