JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menemui perwakilan mahasiswa Universitas Trisakti, di gedung Bina Graha Jakarta, Rabu (18/5/2022).
Pertemuan ini, merupakan tindak lanjut dari aksi mahasiswa Trisakti, pada Kamis (12/5/2022) lalu.
Presiden BEM Universitas Trisakti Fauzan Raisal Misri mengungkapkan, kedatangan perwakilan dari 6 kampus Trisakti ke KSP untuk mempertanyakan upaya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan HAM, baik yang terjadi pada mahasiswa Trisakti, atau pelanggaran HAM lainnya.
"Tidak hanya soal Trisakti, tapi juga soal Semanggi I-II, dan pelanggaran HAM lainnya," ujar Fauzan sebagaimana dilansir dari siaran pers KSP.
Fauzan menguraikan beberapa isu terkait persoalan HAM yang belum tuntas, terutama yang terjadi pada 12 Mei 1998.
Dia menyebut soal keberlanjutan kesejahteraan keluarga korban, gelar pahlawan untuk pejuang reformasi, dan pengadilan untuk pelaku pelanggar HAM pada 1998.
"Sebelumnya kami sampaikan terima kasih, setelah 24 tahun pemerintah akhirnya berikan bantuan pada keluarga korban beberapa waktu lalu. Tapi bagaimana dengan keberlanjutannya?," ungkap Fauzan.
"Kami juga pertanyakan soal progres pengadilan untuk pelaku pelanggar HAM," lanjutnya.
Menanggapi hal itu, Moeldoko mengatakan, pemerintah tidak tinggal diam dan tetap menjadikan pelanggaran HAM masa lalu sebagai prioritas.
Dia menegaskan, pemerintah terus mengupayakan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM yang berat, baik secara yudisial maupun non-yudisial.
Baca juga: Pemerintah dan DPR Diminta Merinci Arti Penanganan Non-Yudisial dalam Kasus HAM Berat
"Penyelesaian secara yudisial akan digunakan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat baru (terjadi setelah diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)," ungkap Moeldoko.
"Sedangkan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu (terjadi sebelum November 2000) akan diprioritaskan dengan penyelesaian melalui pendekatan non-yudisial. Seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," jelasnya.
Moeldoko melanjutkan, kasus Trisakti 1998 masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu yang idealnya diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial.
Dia menjelaskan, UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, memang memungkinkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pengadilan.
Namun, tentu harus menunggu putusan politik oleh DPR.