JAKARTA, KOMPAS.com - Persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket bantuan soaial (bansos) Covid-19 di wilayah Jabodetabek tahun 2020 berlanjut.
Salah satu terdakwa dalam kasus ini, Matheus Joko Santoso, hadir sebagai saksi untuk mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara.
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga Juliari telah menerima uang sebesar Rp 32,48 miliar.
Uang itu diduga diterima Juliari dari perusahaan-perusahaan penyedia paket bansos.
Pada sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (7/6/2021) itu Joko menyampaikan sejumlah kesaksiannya terkait perkara tersebut, yaitu:
Target penerimaan fee Rp 36,5 miliar
Joko yang juga sempat menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Sosial (Kemensos) menyebut target fee bansos Covid-19 di wilayah Jabodetabek tahun 2020 pada periode 1 sebesar Rp 36,5 miliar.
Namun setelah didiskusikan, target penerimaan fee itu turun menjadi Rp 35 miliar.
"Total target fee 36,5 miliar, setelah didiskusikan kita hanya diminta untuk Rp 35 miliar," ungkap Joko dikutip dari Antara.
Baca juga: Terdakwa Kasus Korupsi Pengadaan Bansos Beberkan Penyerahan Fee Rp 14,7 Miliar Ke Juliari Batubara
Ia menjelaskan bahwa target penerimaan fee itu didapatkan dengan melalui dua cara.
Pertama dengan meminta fee setoran Rp 10.000 per paket bansos, dan fee operasional Rp 1.000 pada setiap paket bansos.
Sementara itu pagu anggaran tahap I pengadaan bansos Covid-19 di wilayah Jabodetabek periode April-Juni 2020 adalah Rp 3,42 triliun.
Pada periode I, sambung Joko, terdapat enam tahap pemberian paket sembako Covid-19 untuk masyarakat wilayah Jabodetabek.
Ia kemudian merinci target pendapatan fee setiap pemberian bansos.
"Tahap 1 targetnya Rp 9,56 miliar, tahap 3 targetnya Rp 6,4 miliar, tahap komunitas targetnya 7,35 miliar, tahap 5 targetnya Rp 6,37 miliar, dan tahap 6 targetnya Rp 6,84 miliar," kata dia.
Juliari Batubara ubah skema
Joko menyebut bahwa Juliari mengubah skema penunjukan vendor pengadaan paket bansos Covid-19 pada tahap kedua yang berlangsung Juli-Desember 2020.
Menurut kesaksian Joko, skema ini diubah karena Juliari tidak puas dengan realisasi penerimaan fee dari berbagai perusahaan penyedia paket bansos.
Pada skema yang baru, Juliari bersama dua orang politisi PDI-P menjadi pihak yang menentukan jumlah pengadaan paket bansos untuk masing-masing perusahaan.
Baca juga: Saksi Sebut Juliari Batubara Sudah Terima Fee Bansos Rp 11,2 Miliar
Politisi sekaligus anggota DPR itu adalah Ketua Komisi III DPR Herman Herry, mantan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ihsan Yunus
"Perubahan polanya dari 1,9 juta paket per tahap, 1 juta paket dikoordinir oleh Pak Herman Hery, yang 400 ribu paket dikoordinir Ikhsan Yunus, 200 ribu paket oleh Pak Juliari sendiri dan 300 ribu paket istilahnya bina lingkungan," terangnya.
Joko mengatakan untuk 1 juta paket bansos yang dikoordinir Herman Hery, operatornya adalah Ivo, Yogi, Stevano dan Budi Pamungkas.
Sedangkan untuk 400 ribu paket bansos yang dikoordinir Ikhsan Yunus, Yogas dan Iman bertugas sebagain operator.
Adapun 200 ribu paket yang dikoordinir Juliari operatornya adalah Kukuh.
"Kukuh itu jadi operator mulai tahap 1,3,5,6 tapi untuk tahap 7-12, perusahaan-perusahaan vendornya tidak berkoordinasi dengan saya, jadi saya tidak tahu," imbuh dia.
Lebih lanjut Kukuh diketahui merupakan Kukuh Ary Wibowo yang menjadi tim teknis Juliari.
Adapun terkait dugaan keterlibatan Herman Herry dan Ihsan Yunus, KPK telah memeriksa keduanya beberapa waktu lalu.
Saat dijumpai usai pemeriksaan, Herman membantah keterlibatannya dalam perkara tersebut.
"Enggak, enggak benar (terlibat dugaan suap bansos Covid-19," kata Herman pada 30 April 2021.
Baca juga: Juliari Batubara Disebut Ubah Skema Kuota Bansos karena Fee Tak Memuaskan
Terima fee sebesar Rp 14,7 miliar
Joko mengungkapkan bahwa Juliari telah menerima uang sebesar Rp 14,7 miliar
Uang itu didapatkan dari pengumpulan fee pengadaan paket bansos periode I pada April-Juni sebesar Rp 11,2 miliar dan periode II Juli-Desember sebesar Rp 3,5 miliar.
Namun Joko menyebut bahwa ia tidak pernah memberikan fee pengadaan paket bansos itu secara langsung pada Juliari.
Pemberian uang Rp14,7 miliar dilakukan secara bertahap dan melalui Adi Wahyono sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) serta Kabiro Umum Kemensos.
Ganti handphone untuk hadapi dugaan penyadapan
Pada persidangan Joko mengatakan bahwa dirinya sempat diminta untuk mengganti handphone beserta nomernya dan membanting laptop guna menghilangkan bukti.
Permintaan itu disampaikan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) serta Kabiro Umum Kemensos Adi Wahyono dan Kukuh.
"Pada bukan Mei 2020 saya diminta Pak Adi datang ke kantor, saya dari Bandung saat itu. Ternyata saya diminta segera ganti handphone dan nomor karena infonya ada penyadapan," sebutnya.
"Saat itu di ruangan ada Pak Kukuh dan Pak Adi," ucap Joko.
Baca juga: KPK Jebloskan Dua Penyuap Juliari Batubara ke Penjara
Terkait dugaan penyadapan tersebut, Joko mengaku dirinya pernah diberitahu oleh Staf Khusus Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga yang merupakan pensiunan Polri bernama Erwin Tobing.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian menanyakan keabsahan keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik Joko yang menyebut bahwa ia pernah diminta oleh Kukuh di hadapan Adi untuk membanting laptop guna menghilangkan bukti tentang komitmen penerimaan fee untuk Juliari.
"Betul tapi karena saya tidak mencatat di laptop jadi saya tidak membanting laptop. Saya tulis dan catat di ruang ULP," jawab Joko.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.