Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerangka Pelibatan TNI Atasi Terorisme Perlu Diperjelas

Kompas.com - 27/11/2020, 09:22 WIB
Nicholas Ryan Aditya,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dikritik oleh sejumlah pihak.

Kerangka pelibatan TNI dalam aturan turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut dinilai tidak jelas, berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain dan tidak mengadopsi prinsip hak asasi manusia (HAM).

Baca juga: DPR Nilai Kerangka Pelibatan TNI Atasi Terorisme Belum Jelas

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai, ketentuan pelibatan TNI yang tidak diatur secara detail dapat membuka ruang terjadinya overlapping atau tumpang tindih dengan lembaga lain, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) maupun Polri yang mempunyai Densus 88.

"(Rancangan perpres) tidak secara jelas meletakkan kerangka pelibatan TNI (dalam mengatasi aksi terorisme)," ujar Arsul, dalam diskusi daring bertajuk Catatan Kritis dalam Perspektif Sekuritisasi, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Legislasi Perpres TNI, Kamis (26/11/2020).

Potensi terjadinya tumpang tindih bisa timbul ketika TNI menjalankan fungsinya, yakni penangkalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf a.

Menurut Arsul, sembilan fraksi di Komisi III telah meminta pemerintah supaya memberikan konteks yang jelas berkenaan dengan kerangka pelibatan TNI.

Prinsip HAM

Komisioner Komnas HAM Munafrizal Manan menilai pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.

"Pelibatan TNI mengatasi terorisme ini, berpotensi terjadi pelanggaran HAM. Nah ini kita lihatnya dalam perspektif apriori. Jadi sebelum kejadian yang sesungguhnya terjadi," ujar Munafrizal.

Baca juga: Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Tak Boleh Abaikan Prinsip HAM

Munafrizal mengatakan, prinsip keamanan dan HAM harus diterapkan secara seimbang dalam upaya mengatasi terorisme. Menurut Munafrizal, prinsip penghormatan terhadap HAM tidak boleh diabaikan dalam Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.

Selain itu, menurutnya pemerintah harus dapat belajar dari sejumlah kasus yang terjadi, baik di dalam maupun luar negeri. Ia mencontohkan soal dugaan kekerasan atau pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 saat menindak terduga teroris.

"Potensi pelanggaran HAM itu nyata sekali. Kepolisian kita, Densus, pernah ada beberapa kejadian yang ada korban diduga terorisme tapi masih diragukan kepastiannya, tapi sudah terlanjur meninggal atas tindakan yang dilakukan Densus," tutur dia.

Baca juga: Pelibatan TNI Atasi Terorisme Dinilai Berpotensi Timbulkan Pelanggaran HAM

Selain itu, kata Munafrizal, Indonesia juga bisa belajar dari pengalaman negara lain terkait pelibatan militer dalam mengatasi aksi terorisme, misalnya Amerika Serikat.

AS diketahui sempat memiliki sebuah kamp penyiksaan untuk menampung para terduga teroris. Kamp tersebut terletak di Guantanamo, Kuba atau lebih dikenal sebagai penjara Guantanamo.

Kemudian Munafrizal menekankan bahwa pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme harus bersifat ad hoc atau tidak tetap.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com