JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dikritik oleh sejumlah pihak.
Kerangka pelibatan TNI dalam aturan turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut dinilai tidak jelas, berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain dan tidak mengadopsi prinsip hak asasi manusia (HAM).
Baca juga: DPR Nilai Kerangka Pelibatan TNI Atasi Terorisme Belum Jelas
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai, ketentuan pelibatan TNI yang tidak diatur secara detail dapat membuka ruang terjadinya overlapping atau tumpang tindih dengan lembaga lain, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) maupun Polri yang mempunyai Densus 88.
"(Rancangan perpres) tidak secara jelas meletakkan kerangka pelibatan TNI (dalam mengatasi aksi terorisme)," ujar Arsul, dalam diskusi daring bertajuk Catatan Kritis dalam Perspektif Sekuritisasi, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Legislasi Perpres TNI, Kamis (26/11/2020).
Potensi terjadinya tumpang tindih bisa timbul ketika TNI menjalankan fungsinya, yakni penangkalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf a.
Menurut Arsul, sembilan fraksi di Komisi III telah meminta pemerintah supaya memberikan konteks yang jelas berkenaan dengan kerangka pelibatan TNI.
Prinsip HAM
Komisioner Komnas HAM Munafrizal Manan menilai pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
"Pelibatan TNI mengatasi terorisme ini, berpotensi terjadi pelanggaran HAM. Nah ini kita lihatnya dalam perspektif apriori. Jadi sebelum kejadian yang sesungguhnya terjadi," ujar Munafrizal.
Baca juga: Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Tak Boleh Abaikan Prinsip HAM
Munafrizal mengatakan, prinsip keamanan dan HAM harus diterapkan secara seimbang dalam upaya mengatasi terorisme. Menurut Munafrizal, prinsip penghormatan terhadap HAM tidak boleh diabaikan dalam Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Selain itu, menurutnya pemerintah harus dapat belajar dari sejumlah kasus yang terjadi, baik di dalam maupun luar negeri. Ia mencontohkan soal dugaan kekerasan atau pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 saat menindak terduga teroris.
"Potensi pelanggaran HAM itu nyata sekali. Kepolisian kita, Densus, pernah ada beberapa kejadian yang ada korban diduga terorisme tapi masih diragukan kepastiannya, tapi sudah terlanjur meninggal atas tindakan yang dilakukan Densus," tutur dia.
Baca juga: Pelibatan TNI Atasi Terorisme Dinilai Berpotensi Timbulkan Pelanggaran HAM
Selain itu, kata Munafrizal, Indonesia juga bisa belajar dari pengalaman negara lain terkait pelibatan militer dalam mengatasi aksi terorisme, misalnya Amerika Serikat.
AS diketahui sempat memiliki sebuah kamp penyiksaan untuk menampung para terduga teroris. Kamp tersebut terletak di Guantanamo, Kuba atau lebih dikenal sebagai penjara Guantanamo.
Kemudian Munafrizal menekankan bahwa pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme harus bersifat ad hoc atau tidak tetap.
Munafrizal berpendapat, penugasan kepada TNI hanya dapat dilakukan ketika Polri sudah menyatakan tidak sanggup menangani terorisme.
Baca juga: Komnas HAM: Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Bersifat Ad Hoc, Tidak Permanen
Oleh sebab itu, ia mengusulkan agar dalam perpres diatur norma yang menyatakan urgensi-urgensi dan alasan mengapa TNI dilibatkan.
"Misalnya, karena ini sudah berskala tinggi. Sehingga kita bisa dapatkan kepastian bahwa pelibatan TNI ini sifatnya ad hoc dan perbantuan, bukan day to day dan bukan juga permanen," jelasnya.
Risiko tumpang tindih
Secara terpisah, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyarankan pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme hanya dalam tahap penindakan.
"Pelibatan TNI dibolehkan untuk penindakan saja, tidak boleh yang lain, hanya penindakan saja, tidak boleh penangkalan, pemulihan, dan sebagainya," ujar Anam dalam diskusi virtual, Selasa (17/11/2020).
Berdasarkan Pasal 2 rancangan perpres, TNI mempunyai tiga fungsi dalam mengatasi terorisme, yakni penangkalan, penindakan, dan pemulihan.
Baca juga: Komnas HAM Sarankan Pelibatan TNI Atasi Terorisme Hanya pada Tahap Penindakan
Anam beralasan, penindakan ini hanya bisa dijalankan TNI karena fungsi penangkalan dan pemulihan dikhawatirkan akan terjadi tumpang-tindih. Tumpang tindih itu, misalnya dengan kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Menurut Anam, tumpang tindih kewenangan tersebut justru akan menyebabkan pelibatan TNI tidak efektif.
"Kalau penangkalan yang di sini itu akan menimbulkan banyak hal, tumpang tindih kewenangan dengan BNPT," kata Anam.
"Kalau penangkalan berupa memata-matai akan bertabrakan dengan BIN, pasti tindakan akan tidak efektif," tutur dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.