Pengabaian pendapat yang disampaikan para ahli, akademisi, hingga masyarakat sipil, menurut Bagir, dapat dimaknai sebagai tidak ditempatkannya kehendak publik sebagai suatu prosedur yang semestinya dipertimbangkan dan bahkan harus menjadi arahan dalam pembentukan UU.
Bahkan, proses pembahasan revisi yang berjalan singkat, dinilai sebagai sebuah tindakan tergesa-gesa. Sehingga, prinsip transparansi dan terbuka pun terkesan diabaikan.
Hal itu tidak sejalan dengan prinsip pemberantasan korupsi yang seharusnya diusung oleh KPK sendiri.
"Kurangnya transparansi dalam pembentukan UU KPK mengesankan ada inkonsistnsi dengan pemberantasan korupsi sebagai upaya membangun membangun pemerintah yang bersih, clean government," kata Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran itu.
Baca juga: MK Diminta Hadirkan Jokowi dalam Sidang Pengujian UU KPK
Kendati tak kunjung ditandatangani, pakar hukum pidana Universitas Lampung, Sunarto, mengatakan, beleid baru itu tetap dapat berlaku secara yuridis.
Hal itu sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Secara yuridis revisi UU KPK telah terpenuhi dan berlaku," kata Sunarto dalam sebuah diskusi daring, Senin (6/7/2020).
Di dalam pasal itu disebutkan bahwa "Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan."
Meski demikian, ia menyebut, ada tiga kemungkinan yang menyebabkan Presiden hingga kini belum menandatangani UU tersebut.
Pertama, ada pertimbangan bahwa belum ada kepentingan mendesak untuk diadakan revisi UU KPK.
Baca juga: Tanpa Tanda Tangan Presiden, UU KPK Hasil Revisi Resmi Berlaku
Kedua, menurut dia, masih terjadi polemik, serta penolakan masyarakat terhadap revisi UU KPK, sehingga Jokowi tidak ingin berbenturan langsung dengan masyarakat.
Ketiga, revisi yang dilakukan tidak sesuai dengan harapan misalnya melampaui apa yang diharapkan Jokowi.
Di lain pihak, Bagir mengatakan, sikap Jokowi yang tidak kunjung meneken aturan baru itu justru juga mengundang pertanyaan.
"Sudah disetujui, tetapi tidak ditandatangani. Pertanyaan lebih jauh, presiden tidak tanda tangan berarti ada sesuatu yang tidak disetujui oleh presiden?" kata Bagir seperti dilansir dari Tribunnews.