JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak disahkan pada 17 Oktober 2019, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), hingga kini belum ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Sikap Presiden terhadap UU KPK hasil revisi ini pun dipertanyakan. Sebab, tidak mungkin sebuah produk UU yang disahkan di dalam sebuah rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak diketahui isinya oleh Presiden.
Hal itu dikarenakan proses pembahasan sebuah rancangan undang-undang sebelum disahkan menjadi UU, selalu dilakukan bersama-sama DPR dengan pemerintah.
"Walaupun UUD 1945 memungkinkan suatu rancangan undang-undang menjadi undang-undang tanpa pengesahan Presiden, tapi apakah persetujuan semacam itu tidak merupakan anomali praktik ketatanegaraan?," kata mantan Ketua Mahkamah Agung periode 2001-2008 Bagir Manan saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU 19/2019 di Gedung MK, pada 24 Juni lalu, seperti dilansir dari Antara.
Sebelum disahkan, pembahasan RUU tersebut bak sebuah operasi senyap.
Rapat paripurna DPR yang diselenggarakan pada 5 September 2019 secara tiba-tiba memunculkan usulan Badan Legislasi DPR terkait rencana revisi UU KPK.
Padahal, wacana revisi ini sempat mengendap cukup lama di DPR.
Namun secara mendadak, seluruh fraksi menyetujui usulan Badan Legislasi. Tak pelak hal itu menimbulkan banyak pro dan kontra dari sejumlah pihak.
Kompas.com mencatat, paling tidak terdapat lima poin kontroversial di dalam RUU tersebut.
Poin-poin kontroversial itulah yang kemudian banyak dikritik oleh sejumlah pihak. Namun, menurut dia, DPR dan pemerintah terkesan mengabaikannya.
"Negara demokrasi mengabaikan pendapat publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat digolongkan sebagai pelanggaran atas asas-asas umum peraturan perundang-perundangan yang baik," kata Bagir.
Bahkan, proses pembahasan revisi yang berjalan singkat, dinilai sebagai sebuah tindakan tergesa-gesa. Sehingga, prinsip transparansi dan terbuka pun terkesan diabaikan.
Hal itu tidak sejalan dengan prinsip pemberantasan korupsi yang seharusnya diusung oleh KPK sendiri.
"Kurangnya transparansi dalam pembentukan UU KPK mengesankan ada inkonsistnsi dengan pemberantasan korupsi sebagai upaya membangun membangun pemerintah yang bersih, clean government," kata Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran itu.
Tetap berlaku
Kendati tak kunjung ditandatangani, pakar hukum pidana Universitas Lampung, Sunarto, mengatakan, beleid baru itu tetap dapat berlaku secara yuridis.
Hal itu sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Secara yuridis revisi UU KPK telah terpenuhi dan berlaku," kata Sunarto dalam sebuah diskusi daring, Senin (6/7/2020).
Di dalam pasal itu disebutkan bahwa "Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan."
Meski demikian, ia menyebut, ada tiga kemungkinan yang menyebabkan Presiden hingga kini belum menandatangani UU tersebut.
Pertama, ada pertimbangan bahwa belum ada kepentingan mendesak untuk diadakan revisi UU KPK.
Kedua, menurut dia, masih terjadi polemik, serta penolakan masyarakat terhadap revisi UU KPK, sehingga Jokowi tidak ingin berbenturan langsung dengan masyarakat.
Ketiga, revisi yang dilakukan tidak sesuai dengan harapan misalnya melampaui apa yang diharapkan Jokowi.
Di lain pihak, Bagir mengatakan, sikap Jokowi yang tidak kunjung meneken aturan baru itu justru juga mengundang pertanyaan.
"Sudah disetujui, tetapi tidak ditandatangani. Pertanyaan lebih jauh, presiden tidak tanda tangan berarti ada sesuatu yang tidak disetujui oleh presiden?" kata Bagir seperti dilansir dari Tribunnews.
Pertama, Presiden menolak menerbitkan peraturan pemerintah penggantin undang-undang untuk membatalkan penerapan UU KPK hasil revisi.
Sikap itu ditunjukkan Presiden ketika gelombang demonstrasi mencuat yang dilakukan oleh mahasiswa di sejumlah wilayah Tanah Air.
"Yang satu itu (KPK) inisiatif DPR. Ini (RUU lainnya) pemerintah aktif karena memang disiapkan oleh pemerintah," kata Jokowi di Istana Kepresidenan pada 23 September 2019.
Sehari kemudian, aksi mahasiswa pun berujung ricuh. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang jatuh korban.
Meski begitu, peristiwa itu tak kunjung menggoyahkan sikap Jokowi.
Bahkan, selanjutnya Yasonna kembali menegaskan bahwa pemerintah menolak permintaan mahasiswa untuk menerbitkan perppu. Ia pun meminta pihak-pihak yang menolak menggugat UU yang disahkan melalui jalur yang konstitusional di Mahkamah Konstitusi.
"Kan sudah saya bilang, sudah Presiden bilang, gunakan mekanisme konstitusional. Lewat MK dong. Masa kita main paksa-paksa, sudahlah," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, pada 25 September.
Kini, setelah diundangkan, UU tersebut sudah beberapa kali digugat ke MK.
Salah satu gugatan diajukan oleh pimpinan KPK masa jabatan 2015-2019. Mereka adalah Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang.
Selain ketiga nama itu, gugatan juga dimohonkan sepuluh pegiat anti korupsi, antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin serta beberapa nama lain, yaitu Betty Alisjahbana, Ismid Hadad, dan Tini H.
Tidak pantas
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menilai, tidak sepatutnya Presiden Jokowi tidak menandatangani UU yang telah disahkan.
"Sangat tidak patut bahwa itu tidak disahkan oleh presiden. Orang idenya dari presiden, inisiasinya dari presiden, DPR setuju, loh kok malah enggak diteken," kata Jimly dalam diskuai daring bertajuk "Mengkritisi UU Tanpa Tandatangan Presiden Mengukur Kebijakan Pembentukan UU dari Sisi Etika dan Moral", Senin (6/7/2020).
Justru, menurut dia, dengan tidak ditandatanganinya UU KPK hasil revisi akan menimbulkan persoalan serius. Hal itu dikarenakan tidak sesuai dengan etika dan kepatutan konstitusional.
"Jadi ini persoalan serius ini bukan hanya soal sepele. Ini menyangkut soal kepatutan konstitusional," ujarnya.
Sementara itu, Bagir mengatakan, anomali sikap Presiden menunjukkan ada persoalan baik secara prosedural maupun substansi di dalam proses pembentukan UU tersebut.
Ia mengatakan, saat Presiden tidak menandatangani UU, diperkirakan terdapat sesuatu yang tidak disetujui Presiden.
Untuk itu, apabila tidak ingin meneken, keputusan Presiden membiarkan RUU tanpa pengesahan, seharusnya disertai dengan alasan yang dapat diketahui publik.
"Ini kan bagian yang sudah disepakati bersama. Oh, itu disepakati oleh menteri, tapi tidak disepakati oleh presien, bukan itu jawabannya begitu, ya. Karena menteri itu kan mewakili Presiden," ucapnya.
Hingga kini, Istana belum mengungkapkan alasan belum ditandatanganinya UU KPK hasil revisi tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/07/17531551/saat-jokowi-yang-belum-tandatangani-uu-kpk-hasil-revisi-menuai-polemik
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan