JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar mengatakan, ketika proses pembahasan sebuah undang-undang selesai, menteri yang ditunjuk mewakili pemerintah seharusnya mengonfirmasi kesesuaian rancangan undang-undang (RUU) yang disusun ke presiden.
Pasalnya, posisi menteri dalam proses pembahasan undang-undang adalah mewakili presiden. Sehingga, menteri harus mengonfirmasi, apakah keinginan presiden sesuai dengan bunyi RUU atau tidak.
Pernyataan Zainal itu merujuk pada proses pembahasan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Sidang MK, Ahli Nilai Revisi UU KPK Tak Sesuai Kehendak Rakyat
Hal ini ia sampaikan saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ketika dia (menteri) membahas untuk dan atas nama presiden, sewajarnya dia balik kepada presiden untuk menanyakan, bapak meminta gajah, setelah saya bahas ternyata jadi kambing. Menurut bapak apakah saya setujui kambing ini atau tidak," kata Zainal di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2020).
"Presiden harus tahu karena presiden meminta gajah," lanjutnya.
Baca juga: Sidang MK, Pakar Singgung Kehadiran Fisik Anggota DPR Saat Revisi UU KPK
Zainal mengatakan, surat presiden (surpres) dalam sebuah proses pembahasan undang-undang tak bersifat delegatif memberikan kekuasaan presiden kepada kepada menteri.
Sebab, Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 20 ayat (2) telah mengatur bahwa rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden, bukan menteri.
Oleh karenanya, menurut Zainal, menteri sebagai yang menerima mandat presiden harus mengonfirmasi ke kepala negara.
"Makanya kenapa di ujungnya ada tahapan soal pengesahan," kata dia.
Baca juga: Kemungkinan Pembahasan Revisi UU KPK Tak Sesuai Keinginan Presiden
Zainal melanjutkan, sebuah RUU harus dikonfirmasi ke presiden terlebih jika draf yang disusun berbeda dari keinginan kepala pemerintahan.
Jika hal itu terjadi, bisa jadi implikasinya adalah presiden enggan memberikan tanda tangan pada RUU yang sudah disusun.
"Menjadi menarik untuk melihat UU Nomor 19 Tahun 2019 ini karena presiden tidak tanda tangan. Apa penyebab presiden tidak tanda tangan," kata Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Untuk diketahui, Undang-Undang KPK hasil revisi mulai berlaku Kamis (17/10/2019).
Baca juga: Pakar Sebut Revisi UU KPK Terabas Aturan soal Partisipasi dan Kuorum Pembentukan UU
Meski tanpa tanda tangan Presiden Joko Widodo, UU itu otomatis berlaku terhitung 30 hari setelah disahkan di paripurna DPR, 17 September lalu.
Ketentuan ini tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tepatnya pada Pasal 73 ayat 1 dan ayat 2.
Pasal 73 ayat 1 menyatakan, "rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden".
Lalu, Pasal 73 ayat 2 berbunyi, "dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan".
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.