Sebab, demos menyiratkan kesetaraan dan kebebasan. Sedangkan kratein menampilkan sub-ordinasi dan hirarki. Sesuatu yang menyiratkan pertentangan diametral.
Lalu, aib ini diselesaikan dengan rumusan “demos diperintah oleh dirinya sendiri (self government) sehingga paradoks sirna”. Sayangnya, ini saja tidak cukup. Karena atas dasar geografis dan populasi, mustahil rakyat memerintah langsung dirinya.
Perlu representasi melalui pemilu dengan hadirnya wakil-wakil rakyat yang duduk di pemerintahan. Hal ini menimbulkan problem baru soal ketersambungan apa yang dipikirkan wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya.
Narasi kompleks di atas lalu tersambung serupa di Indonesia. Ada gejala, selain persoalan representasi, demokrasi kita dirajut atas dasar semangat harmoni dan konsensus.
Perbedaan nyaris diberangus---yang nampak vulgar di masa Orde Baru. Pemilu---di masa itu---penuh dengan modifikasi sehingga Golkar dan Soeharto nyaris abadi dalam kemenangan absolut pemilu dimaksud.
Tentu bukan dari hasil fair. Namun melalui rekayasa canggih dari mulai ketidaknetralan birokrasi, depolitisasi maupun lumpuhnya panitia penyelenggara pemilu ketika dihadapkan prinsip jujur dan adil.
Lalu, secara doktriner---mungkin serampangan---dilekatkan bahwa itu model demokrasi Pancasila. Yang prinsipnya musyawarah untuk mufakat. Namun menihilkan proses yang diabdikan pada penghormatan kemajemukan dan pluralisme.
Cerita Orde Baru (Orba) di atas tentu tidak mudah hapus pasca reformasi. Bahkan, tidak sedikit yang menuding atau menduga hendak direplikasi di masa reformasi.
Ada nilai-nilai traumatik mengendap di alam bawah sadar. Seperti tradisi demokrasi konsensus. Demokrasi yang menghendaki harmoni dan mufakat segalanya. Serta abai—atau setidaknya---tidak serius memberikan ruang pada perbedaan pemikiran dan aspirasi politik.
Partai-partai politik pasca reformasi nyaris tidak ada diferensiasi satu sama lain. Jualannya normatif. Koalisinya pun berkesan lebih pada pembagian alokasi kekuasaan di kabinet. Ideologi menjadi barang langka diperbincangkan.
Kondisi demikian seperti merawat “api dalam sekam”. Setiap saat dapat meledak.
Diskursus soal agama misalnya, hendak dinetralkan dari negara (risiko demokrasi konsensus). Sebab, doktrin masyarakat post-sekuler abad ini adalah wacana agama dikesampingkan dari urusan di ruang publik. Agama dinilai ranah privat.
Faktanya, menurut filsuf Jurgen Habermas, agama malah semakin bertahan dan mendesakkan aspirasinya dalam ruang publik. Tidak jarang, menurut Habermas (Gusti AB Menoh, Agama Dalam Ruang Publik, 2015:211), desakan kelompok kelompok religius seringkali mengancam keadaban publik karena disampaikan salah satunya melalui kekerasan atau pemaksaan kehendak.
Ketika agama tidak diberikan saluran di ruang publik. Maka, yang hadir adalah ancaman fundamentalisme agama di satu sisi dan di sisi lain fundamentalisme pasar yang memanfaatkan celah kosong absennya ideologi. Hal ini mendesak dikoreksi.
Paradigma demokrasi konsensus dengan berbagai implikasi dan doktrinnya ternyata tidak cukup menjawab tantangan zaman. Doktrin netralitas negara---misalnya---(sebagai bagian dari demokrasi konsensus) menghadirkan kekusutan ketika negara sebagai praktik politik wajib hadir.