Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Neraca (atau Neraka?) Demokrasi

Kompas.com - 24/06/2019, 09:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sebab, demos menyiratkan kesetaraan dan kebebasan. Sedangkan kratein menampilkan sub-ordinasi dan hirarki. Sesuatu yang menyiratkan pertentangan diametral.

Lalu, aib ini diselesaikan dengan rumusan “demos diperintah oleh dirinya sendiri (self government) sehingga paradoks sirna”. Sayangnya, ini saja tidak cukup. Karena atas dasar geografis dan populasi, mustahil rakyat memerintah langsung dirinya.

Perlu representasi melalui pemilu dengan hadirnya wakil-wakil rakyat yang duduk di pemerintahan. Hal ini menimbulkan problem baru soal ketersambungan apa yang dipikirkan wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya. 

Narasi kompleks di atas lalu tersambung serupa di Indonesia. Ada gejala, selain persoalan representasi, demokrasi kita dirajut atas dasar semangat harmoni dan konsensus.

Perbedaan nyaris diberangus---yang nampak vulgar di masa Orde Baru. Pemilu---di masa itu---penuh dengan modifikasi sehingga Golkar dan Soeharto nyaris abadi dalam kemenangan absolut pemilu dimaksud.

Tentu bukan dari hasil fair. Namun melalui rekayasa canggih dari mulai ketidaknetralan birokrasi, depolitisasi maupun lumpuhnya panitia penyelenggara pemilu ketika dihadapkan prinsip jujur dan adil.

Lalu, secara doktriner---mungkin serampangan---dilekatkan bahwa itu model demokrasi Pancasila. Yang prinsipnya musyawarah untuk mufakat. Namun menihilkan proses yang diabdikan pada penghormatan kemajemukan dan pluralisme.

Cerita Orde Baru (Orba) di atas tentu tidak mudah hapus pasca reformasi. Bahkan, tidak sedikit yang menuding atau menduga hendak direplikasi di masa reformasi.

Ada nilai-nilai traumatik mengendap di alam bawah sadar. Seperti tradisi demokrasi konsensus. Demokrasi yang menghendaki harmoni dan mufakat segalanya. Serta abai—atau setidaknya---tidak serius memberikan ruang pada perbedaan pemikiran dan aspirasi politik.

Partai-partai politik pasca reformasi nyaris tidak ada diferensiasi satu sama lain. Jualannya normatif. Koalisinya pun berkesan lebih pada pembagian alokasi kekuasaan di kabinet. Ideologi menjadi barang langka diperbincangkan.

Kondisi demikian seperti merawat “api dalam sekam”. Setiap saat dapat meledak.

Diskursus soal agama misalnya, hendak dinetralkan dari negara (risiko demokrasi konsensus). Sebab, doktrin masyarakat post-sekuler abad ini adalah wacana agama dikesampingkan dari urusan di ruang publik. Agama dinilai ranah privat.

Faktanya, menurut filsuf Jurgen Habermas, agama malah semakin bertahan dan mendesakkan aspirasinya dalam ruang publik. Tidak jarang, menurut Habermas (Gusti AB Menoh, Agama Dalam Ruang Publik, 2015:211), desakan kelompok kelompok religius seringkali mengancam keadaban publik karena disampaikan salah satunya melalui kekerasan atau pemaksaan kehendak.

Ketika agama tidak diberikan saluran di ruang publik. Maka, yang hadir adalah ancaman fundamentalisme agama di satu sisi dan di sisi lain fundamentalisme pasar yang memanfaatkan celah kosong absennya ideologi. Hal ini mendesak dikoreksi.

Demokrasi Disensus

Paradigma demokrasi konsensus dengan berbagai implikasi dan doktrinnya ternyata tidak cukup menjawab tantangan zaman. Doktrin netralitas negara---misalnya---(sebagai bagian dari demokrasi konsensus) menghadirkan kekusutan ketika negara sebagai praktik politik wajib hadir.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Nasional
Hasto: Di Tengah Panah 'Money Politic' dan 'Abuse of Power', PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Hasto: Di Tengah Panah "Money Politic" dan "Abuse of Power", PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Nasional
Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Nasional
Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Nasional
Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Nasional
Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Nasional
Jokowi Bakal Diberi Posisi Terhormat, PDI-P: Untuk Urusan Begitu, Golkar Paling Sigap

Jokowi Bakal Diberi Posisi Terhormat, PDI-P: Untuk Urusan Begitu, Golkar Paling Sigap

Nasional
PPP Jadi Partai yang Gugat Sengketa Pileg 2024 Terbanyak

PPP Jadi Partai yang Gugat Sengketa Pileg 2024 Terbanyak

Nasional
Wapres Doakan Timnas Indonesia Melaju ke Final Piala Asia U23

Wapres Doakan Timnas Indonesia Melaju ke Final Piala Asia U23

Nasional
Ada 297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Pengacara dari 8 Firma Hukum

Ada 297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Pengacara dari 8 Firma Hukum

Nasional
Novel Baswedan dkk Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK, Dianggap Rintangi Pemeriksaan Etik

Novel Baswedan dkk Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK, Dianggap Rintangi Pemeriksaan Etik

Nasional
Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Nasional
Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Nasional
Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Nasional
Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com