Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Neraca (atau Neraka?) Demokrasi

Kompas.com - 24/06/2019, 09:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sementara, kehadirannya membutuhkan landasan publik yang mengandaikan tatanan nilai nilai tertentu. Sehingga mau tak mau mengandaikan preferensi pilihan nilai yang mengkhianati konsep netralitas negara itu sendiri.

Untuk kejumudan itu, filsuf John Rawls menawarkan resep keadilan bersifat politik, yang memfokuskan pada mekanisme politik konsensual sehingga sifatnya prosedural.

Ini dibasiskan pada gagasan “keadilan sebagai kewajaran” (justice as fairness) melalui konsensus tumpang tindih (overlapping consensus) atas pluralitas doktriner di masyarakat.

Keadilan sebagai kewajaran bagi Rawls berbentuk pluralisme nalar. Meski kemudian digugat, karena menentukan nalar atau tidak nalar dipastikan didasarkan pada kriteria tatanan nilai tertentu. Yang berarti, sekali lagi, negara menjadi tidak netral.

Di dalam kepengapan demikian, tawaran politik demokrasi disensus yang digagas oleh berbagai pakar seperti filsuf Mouffe dan Laclau menjadi pantas ditimbang.

Pertama, demokrasi disensus tidak memaksa harmoni apalagi konsensus. Melainkan merawat perbedaan. Tidak melihat yang berbeda sebagai lawan yang harus dimusnahkan.

Kawan dan lawan pun didekonstruksi bukan sebagai sesuatu yang absolut harus dimatikan. Melainkan diposisikan diametral kawan sekaligus seteru.

Sehingga dinamika kesitegangan kawan versus seteru dapat didulang secara kreatif dan optimal untuk memperbaiki sisi sisi lemah demokrasi.

Kedua, demokrasi disensus menurut Budiarto Danujaya (Demokrasi Disensus, 2012) menempatkan “politik sebagai ajang perebutan artikulatif manusia konkret yang hidup dan nyata”. Tidak menihilkan itu.

Maka, keberadaan oposisi bukan hanya konsekuensi relasional yang wajar melainkan antagonisme laten pada seteru atau lawan politik yang wajar. Dengan begitu demokrasi dapat meremajakan gagasan manusia maupun lembaganya.

Tradisi sepakat untuk tidak sepakat seakan menjadi wahana untuk eksplorasi perbedaan atau kemajemukan. Tidak nyinyir. Atau melekatkan istilah “cebong” dan “kampret” dalam politik bunuh diri saling menyakiti.

Tentu, demokrasi disensus yang memberikan ruang berbeda wajib dikoridori oleh hukum yang diproduksi melalui proses fundamental partisipasi demokrasi genuine. Sehingga dapat menghindari dusta di antara kita.

Pada akhirnya, demokrasi disensus memang mengharapkan energi besar untuk berbesar hati melihat perbedaan pada tingkat paling radikal sekalipun.

Menimba kearifan dari kemajemukan. Bahkan, dari oposisi politik sekalipun. Tidak hitam putih. Mentransformasi keindahan untuk berbagi gagasan, pesan dan pemikiran meski kerap tidak satu frekuensi.

Sehingga, potensi neraka demokrasi dapat diubah menjadi surga demokrasi. Dengan begitu, amanah Pembukaan UUD NRI 1945 yang menghendaki merdeka, bersatu, adil dan  makmur menjadi kosa kata bernegara faktual. Bukan manifestasi keinginan tanpa kenyataan.

Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Jokowi dan PDI-P, Projo: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Projo: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Nasional
PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com