Sementara, kehadirannya membutuhkan landasan publik yang mengandaikan tatanan nilai nilai tertentu. Sehingga mau tak mau mengandaikan preferensi pilihan nilai yang mengkhianati konsep netralitas negara itu sendiri.
Untuk kejumudan itu, filsuf John Rawls menawarkan resep keadilan bersifat politik, yang memfokuskan pada mekanisme politik konsensual sehingga sifatnya prosedural.
Ini dibasiskan pada gagasan “keadilan sebagai kewajaran” (justice as fairness) melalui konsensus tumpang tindih (overlapping consensus) atas pluralitas doktriner di masyarakat.
Keadilan sebagai kewajaran bagi Rawls berbentuk pluralisme nalar. Meski kemudian digugat, karena menentukan nalar atau tidak nalar dipastikan didasarkan pada kriteria tatanan nilai tertentu. Yang berarti, sekali lagi, negara menjadi tidak netral.
Di dalam kepengapan demikian, tawaran politik demokrasi disensus yang digagas oleh berbagai pakar seperti filsuf Mouffe dan Laclau menjadi pantas ditimbang.
Pertama, demokrasi disensus tidak memaksa harmoni apalagi konsensus. Melainkan merawat perbedaan. Tidak melihat yang berbeda sebagai lawan yang harus dimusnahkan.
Kawan dan lawan pun didekonstruksi bukan sebagai sesuatu yang absolut harus dimatikan. Melainkan diposisikan diametral kawan sekaligus seteru.
Sehingga dinamika kesitegangan kawan versus seteru dapat didulang secara kreatif dan optimal untuk memperbaiki sisi sisi lemah demokrasi.
Kedua, demokrasi disensus menurut Budiarto Danujaya (Demokrasi Disensus, 2012) menempatkan “politik sebagai ajang perebutan artikulatif manusia konkret yang hidup dan nyata”. Tidak menihilkan itu.
Maka, keberadaan oposisi bukan hanya konsekuensi relasional yang wajar melainkan antagonisme laten pada seteru atau lawan politik yang wajar. Dengan begitu demokrasi dapat meremajakan gagasan manusia maupun lembaganya.
Tradisi sepakat untuk tidak sepakat seakan menjadi wahana untuk eksplorasi perbedaan atau kemajemukan. Tidak nyinyir. Atau melekatkan istilah “cebong” dan “kampret” dalam politik bunuh diri saling menyakiti.
Tentu, demokrasi disensus yang memberikan ruang berbeda wajib dikoridori oleh hukum yang diproduksi melalui proses fundamental partisipasi demokrasi genuine. Sehingga dapat menghindari dusta di antara kita.
Pada akhirnya, demokrasi disensus memang mengharapkan energi besar untuk berbesar hati melihat perbedaan pada tingkat paling radikal sekalipun.
Menimba kearifan dari kemajemukan. Bahkan, dari oposisi politik sekalipun. Tidak hitam putih. Mentransformasi keindahan untuk berbagi gagasan, pesan dan pemikiran meski kerap tidak satu frekuensi.
Sehingga, potensi neraka demokrasi dapat diubah menjadi surga demokrasi. Dengan begitu, amanah Pembukaan UUD NRI 1945 yang menghendaki merdeka, bersatu, adil dan makmur menjadi kosa kata bernegara faktual. Bukan manifestasi keinginan tanpa kenyataan.
Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.