JAKARTA, KOMPAS.com - Hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik mulai terus-menerus diterapkan terhadap penyelenggara negara yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Sejak Januari hingga 16 Desember 2018, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu menuntut agar terdakwa yang menduduki jabatan publik dikenakan hukuman pencabutan hak politik. Hampir seluruh tuntutan itu disetujui oleh majelis hakim.
Baca juga: KPK Dinilai Belum Maksimal Menuntut Pencabutan Hak Politik Kepala Daerah
Hukuman tambahan dinilai perlu untuk mencegah koruptor kembali menduduki jabatan penting yang sangat berdampak pada publik. Hukuman itu juga melindungi masyarakat agar tidak salah memilih pemimpin yang pernah dihukum.
Berikut 12 penyelenggara negara yang dicabut hak politiknya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, sepanjang 2018:
1. Yudi Widiana
Pada Maret 2018, majelis hakim mencabut hak politik politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yudi Widiana Adia.
Yudi Widiana Adia divonis 9 tahun penjara. Yudi juga diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca juga: Hakim Cabut Hak Politik Politisi PKS Yudi Widiana
Yudi terbukti menerima suap lebih dari Rp 11 miliar dari Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa, So Kok Seng alias Aseng.
Suap tersebut terkait usulan proyek di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
2. Nur Alam
Pada Maret 2018, majelis hakim mencabut hak politik Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam.
Nur Alam divonis 12 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, diwajibkan membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar.
Baca juga: Hakim Cabut Hak Politik Gubernur Sultra Nur Alam
Menurut hakim, Nur Alam terbukti menyalahgunakan wewenang selaku Gubernur dalam memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.
Kemudian, Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).
Nur Alam terbukti merugikan negara sebesar Rp 1,5 triliun.
Baca juga: Vonis Mantan Gubernur Sultra Nur Alam Diperberat Jadi 15 Tahun Penjara
Menurut hakim, perbuatan melawan hukum tersebut telah memperkaya dirinya sebesar Rp 2,7 miliar. Kemudian, memperkaya korporasi, yakni PT Billy Indonesia sebesar Rp 1,5 triliun.
Selain itu, Nur Alam dinilai terbukti menerima gratifikasi Rp 40,2 miliar dari Richcorp International Ltd.
Menurut jaksa, uang dari Richcorp itu ada kaitan dengan perizinan yang dikeluarkan terhadap PT AHB.
3. Setya Novanto
Pada April 2018, majelis hakim mencabut hak politik mantan Ketua DPR Setya Novanto. Hak politiknya dicabut selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana.
Baca juga: Hakim Cabut Hak Politik Setya Novanto
Novanto divonis 15 tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP.
4. Rita Widyasari
Pada Juli 2018, majelis hakim mencabut hak politik Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari. Pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik berlaku 5 tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.
Rita Widyasari divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Baca juga: Supaya Publik Tak Pilih Mantan Koruptor, Hakim Cabut Hak Politik Rita Widyasari
Rita terbukti menerima gratifikasi Rp 110 miliar bersama-sama dengan staf khususnya, Khairudin. Rita juga terbukti menerima gratifikasi Rp 6 miliar.
5. Mustafa
Pada Juli 2018, Bupati nonaktif Lampung Tengah Mustafa divonis 3 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Mustafa juga diwajibkan membayar denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca juga: Bupati Lampung Tengah Divonis 3 Tahun Penjara, Hak Politiknya Dicabut
Selain itu, Mustafa juga dikenai pidana tambahan berupa hak untuk dipilih dan menduduki jabatan publik. Pidana tambahan ini berlaku selama 2 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Mustafa terbukti menyuap beberapa anggota DPRD Lampung Tengah sejumlah Rp 9,6 miliar. Penyuapan itu dilakuan bersama-sama Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah, Taufik Rahman.
6. Abdul Latif
Pada September 2018, majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik terhadap Bupati nonaktif Hulu Sungai Tengah Abdul Latif.
Hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik berlaku selama 3 tahun setelah Abdul Latif selesai menjalani pidana pokok.
Baca juga: Hakim Cabut Hak Bupati Hulu Sungai Tengah untuk Dipilih dalam Jabatan Publik
Abdul Latif divonis 6 tahun penjara oleh majelis hakim. Abdul Latif juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Abdul Latif terbukti menerima suap Rp 3,6 miliar. Suap tersebut diberikan oleh Direktur PT Menara Agung Pusaka Donny Witono yang merupakan kontraktor di Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
7. Rudy Erawan
Pada September 2018, majelis hakim mencabut hak politik Bupati Halmahera Timur, Rudy Erawan. Pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah Rudy selesai menjalani pidana pokok.
Rudy Erawan divonis 4,5 tahun penjara oleh majelis hakim. Politisi PDI Perjuangan itu juga diwajibkan membayar denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Baca juga: Supaya Koruptor Tak Jadi Kepala Daerah, Hakim Cabut Hak Politik Rudy Erawan
Rudy Erawan terbukti menerima suap Rp 6,3 miliar. Uang itu diberikan oleh Amran HI Mustary selaku Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara.
8. Asrun
Pada Oktober 2018, majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan kepada mantan Wali Kota Kendari, Asrun berupa pencabutan hak politik selama 2 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Asrun divonis 5,5 tahun penjara. Dia juga diwajibkan membayar denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca juga: Terbukti Korupsi, Hak Politik Wali Kota Kendari dan Ayahnya Dicabut
Menurut hakim, Asrun terbukti menerima uang Rp 2,8 miliar dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah.
Uang itu diberikan agar Adriatma selaku Wali Kota Kendari menyetujui Hasmun mendapatkan jatah proyek untuk pekerjaan multi years pembangunan jalan Bungkutoko-Kendari New Port tahun 2018-2020.
Selain itu, Asrun sendiri terbukti menerima Rp 4 miliar dari Hasmun Hamzah.
9. Adriatma Dwi Putra
Pada Oktober 2018, majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan kepada Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra berupa pencabutan hak politik selama 2 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Adriatma Dwi Putra divonis 5,5 tahun penjara. Dia juga diwajibkan membayar denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca juga: Jaksa KPK Tuntut Pencabutan Hak Politik Wali Kota Kendari dan Ayahnya
Menurut hakim, Adriatma terbukti menerima uang Rp 2,8 miliar dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah. Uang itu diberikan agar Adriatma selaku Wali Kota menyetujui Hasmun mendapatkan jatah proyek untuk pekerjaan multi years pembangunan jalan Bungkutoko-Kendari New Port tahun 2018-2020.
10. Fayakhun Andriadi
Pada November 2018, majelis hakim mencabut hak politik terhadap mantan anggota Komisi I DPR, Fayakhun Andriadi.
Pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Baca juga: Hakim Cabut Hak Politik Fayakhun Andriadi
Fayakhun divonis 8 tahun penjara dan dihukum membayar denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan.
Menurut hakim, Fayakhun terbukti menerima suap 911.480 dollar Amerika Serikat. Uang tersebut diberikan oleh Direktur Utama PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah.
11. Ahmadi
Pada Desember 2018, majelis hakim menyatakan Bupati nonaktif Bener Meriah Ahmadi terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Dalam amar putusan, hakim mencabut hak politik Ahmadi selama 2 tahun.
Baca juga: Hakim Cabut Hak Politik Bupati Bener Meriah
Ahmadi dihukum 3 tahun penjara dan membayar denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan. Ahmadi terbukti menyuap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf Rp 1 miliar secara bertahap.
12. Zumi Zola
Majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa Zumi Zola. Gubernur nonaktif Jambi tersebut dicabut haknya untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Baca juga: Majelis Hakim Cabut Hak Politik Zumi Zola
Menurut hakim, Zumi terbukti menerima gratifikasi sebesar lebih dari Rp 40 miliar. Zumi juga menerima 177.000 dollar Amerika Serikat dan 100.000 dollar Singapura.
Selain itu, Zumi menerima 1 unit Toyota Alphard dari kontraktor.