JAKARTA, KOMPAS.com — Tahapan perhelatan Pemilu 2019 dibayang-bayangi dengan gagapnya lembaga politik, masyarakat serta ancaman retaknya kohesi sosial.
Pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) James Kristiadi menilai kohesi sosial di Indonesia rentan retak jika sentimen suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) digunakan sebagai alat memenangkan kontestasi politik.
"Ya begini, itu (penyebab retaknya kohesi) tentu ceritanya panjang. Kohesi sosial ini sangat rawan dalam negara yang sangat plural ini. Kalau ikatan-ikatan yang sifatnya sentimen primordialistik, SARA dijadikan jurus politik untuk pertandingan memenangkan kompetisi. Itu sangat berbahaya sekali," kata Kristiadi dalam diskusi bertajuk Kohesi Sosial yang Mulai Retak, di gedung DPP Nasdem, Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Kristiadi menegaskan, kontestasi politik harusnya bersifat rasional, bukan meggunakan sentimen SARA, ujaran kebencian, dan hoaks.
Para elite politik harus menarik hati masyarakat melalui gagasan dan program kebijakan yang rasional.
"Mereka harus membeberkan ke masyarakat 'Ini loh saya mempunyai perhatian khusus kepada pendidikan', yang lain 'Oh saya ke pertanian', satu lagi 'Saya ke kelautan'. Ini harus dijelaskan ke masyarakat sehingga masyarakat diajak berpikir atas rasionalitas mereka," kata dia.
Jika menggunakan cara-cara negatif, hal itu akan berisiko terhadap rusaknya kohesi sosial di dalam masyarakat.
Kristiadi mengingatkan, bangsa Indonesia sebenarnya mampu merajut kebersamaan di tengah besarnya keberagaman yang ada.
Selain itu, Indonesia juga telah disokong oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar dan pedoman perilaku.
"Tetapi, kehebatan bangsa merajut rasa kebersamaan dalam ideologi Pancasila ini, kok, bisa menjadi begitu cerai berai?" katanya.
Menurut Kristiadi, ada sejumlah solusi yang bisa dilakukan dalam menekan ancaman retaknya kohesi sosial dalam kontestasi politik. Pertama, ia mengingatkan bahwa merajut hubungan dengan sesama manusia merupakan tujuan yang mulia.
Baca juga: Membawa Pilkada dan Pemilu Tanpa Ujaran Kebencian dan Hoaks
"Meneruskan silaturahim para ulama dan tokoh. Mereka perlu mendorong silaturahim, saling kembali ke khitah awal bahwa negara kita ini negara republik. Negara yang disusun atas persetujuan bersama," kata dia.
Ia menjelaskan, bangsa ini sempat mengalami luka batin atas peristiwa Pemilu 2014 dan Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu silam sehingga peran silaturahim bisa menutup luka yang ada.
"Dengan silaturahim tokoh seperti itu, bagaimana mengatasi masalah krusial dan membuat luka batin publik sembuh. Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta sudah kita rasakan semua, kita jadi kikuk," katanya.
Selain itu, ia juga berharap adanya upaya penegakan hukum yang jelas, tegas, dan adil dalam menindak ujaran kebencian dan hoaks.
Jangka menengah dan jangka panjang
Kristiadi juga mengimbau agar elite parpol mengembalikan esensi partai sebagai alat perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
"Selama ini pakai rumus terus, rumus menang kalah. Para kader partai ini tidak lagi berjuang mencari dana kompetisi tapi harus meningkatkan kualitasnya," kata dia.
Kristiadi memandang bahwa sistem politik negara ini memerlukan perbaikan secara menyeluruh.
Terkait solusi jangka panjang, negara dan partai harus membangun pendidikan politik yang jelas secara menyeluruh. Hal itu untuk membangun karakter seluruh komponen untuk bertindak dengan waras.
"Itu dimulai bagaimana kita memenangkann wacana publik yang waras. Hal-hal yang rasional, mengenai nilai, cita-cita. Bukan asal ngotot saja," paparnya.
Baca juga : Jelang Pemilu, Polri Imbau Tokoh Masyarakat dan Politik Tak Sebar Ujaran Kebencian
Masyarakat, kata dia, harus diajak bersikap rasional dalam berpolitik.
Selain itu, media massa juga harus bisa menandingi tingkat kecepatan sebaran informasi di media sosial yang hanya menunjukkan emosi, bernuansa kebencian dan memancing konflik.
"Perlu juga lewat media budaya, media permainan anak dan media lain yang bisa dsentuh dan dipahami masyarakat," katanya.