JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap mengusut kasus korupsi e-KTP hingga tuntas.
Menurut dia, vonis terhadap mantan Ketua DPR RI Setya Novanto bukan babak final kasus tersebut.
"Putusan terhadap terdakwa SN bukan akhir dari pengusutan kasus mega korupsi E-KTP. KPK harus terus membongkar kasus ini secara tuntas," ujar peneliti PSHK Miko S Ginting melalui siaran pers, Kamis (26/4/2018).
(Baca juga: Kader Golkar Diminta Belajar dari Vonis Novanto)
Miko mengatakan, penyidikan belum dikatakan tuntas jika pihak-pihak yang disebut menerima fee dari proyek tersebut belum dimintai pertanggungjawaban.
Diketahui, dalam putusan hakim terhadap Novanto, ada sejumlah nama mulai dari mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi serta beberapa anggota DPR di masa tersebut yang menikmati hasil korupsi.
Bahkan ada beberapa perusahaan sepeeti PNRI, Quadra Solution, dan beberapa perusahaan lain yang turut mendapat keuntungan.
"KPK tidak boleh hanya berfokus pada keterlibatan aktor individual tetapi juga perusahaan dan pemilik manfaat dari perusahaan," kata Miko.
(Baca juga: Sekjen Golkar: Putusan Novanto Pukulan yang Sangat Keras)
Untuk menjerat korporasi, KPK dapat mengacu pada Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
Sementara itu, pemilik manfaat sudah didefinisikan lebih lanjut oleh Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi (Beneficial Owners).
Skema penanganan double track system (individu dan korporasi) ini diharapkan dapat membongkar jaringan korupsi dalam kasus E-KTP.
"Penanganan kasus demikian juga penting sebagai benchmarking bagi KPK dalam menangani kasus-kasus lainnya. Publik tentu saja menanti keadilan dari penanganan KPK terhadap kasus ini," kata Miko.