JAKARTA, KOMPAS.com - Memasuki tahun politik, Mahkamah Konstitusi (MK) diprediksi akan ketiban beban yang semakin berat.
Di samping harus menyelesaikan sejumlah pengujian undang-undang, perkara perselisihan hasil pilkada diprediksi meningkat.
Akibatnya, waktu penanganan perkara di MK menjadi tantangan.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi pun mengingatkan MK untuk memperbaiki manajemen waktu penanganan perkara.
Dari 2003 hingga 2017 waktu penanganan pengujian undang-undang di MK dalam tren yang semakin lambat.
(Baca juga : Tahun Politik, Dugaan Pelanggaran Etik Ketua MK Didesak Segera Diputus)
Pada 2003, lamanya waktu pengujian yaitu 5,3 bulan. Angka tersebut meningkat drastis di tahun berikutnya menjadi 8,5 bulan.
Namun berangsur turun menjadi 5,5 bulan (2005), 5 bulan (2006), dan 3,5 bulan (2007).
Akan tetapi sejak 2008 waktu penanganan pengujian undang-undang terus meningkat dari 3,7 bulan di 2008 menjadi 10,8 bulan di 2017.
"Berdasarkan data tersebut maka tahun politik ini akan mempengaruhi kecepatan MK dalam menangani perkara," kata Veri dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (3/1/2018).
Apalagi, lanjut Veri, setiap tahun MK menyisakan perkara yang belum diselesaikan.
Misalnya, pada 2013 MK menyisakan 39,23 persen perkara, dan pada 2014 menyisakan 37,91 persen perkara.
Lembaga di bawah komando Arief Hidayat itu menyisakan 28,64 persen perkara tahun 2015, 44,83 persen perkara tahun 2016, dan 27,22 persen perkara tahun 2017.
(Baca juga : Sengketa Pilkada Diprediksi Meningkat, Akan Jadi Tugas Berat bagi MK)
Dengan sisa perkara itu, ditambah potensi meningkatnya sengketa perselisihan hasil pilkada, maka beban MK di tahun politik ini akan semakin berat.
"Bisa jadi kalau melihat pengalaman sebelumnya, pilkada Juni, Agustus sengketa, bisa jadi (penyelesaian perkara) selesai akhir tahun, atau bahkan 2019. Sehingga itu butuh antisipasi yang serius dari MK," pungkasnya.