Selain itu, lanjut Arief, MK memutuskan pasal 61 Ayat (2) dan pasal 64 ayat (5) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianutnya.
Hal tersebut diperlukan untuk mewujukan tertib administrasi kependudukan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam.
Menurut Mahkamah, perbedaan pengaturan antar warga negara dalam hal pencantuman elemen data penduduk, tidak didasarkan pada alasan yang konstitusional.
Pengaturan tersebut telah memperlakukan secara berbeda terhadap warga negara penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan, dalam mengakses pelayanan publik.
Hakim MK Saldi Isra menegaskan bahwa hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional warga negara, bukan pemberian negara.
Oleh sebab itu, negara wajib melindungi dan menjamin pemenuhan hak warga negaranya untuk memeluk suatu kepercayaan di luar enam agama yang berkembang di Indonesia.
Saldi menuturkan, ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 merupakan pengakuan konstitusi terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi siapapun.
Sedangkan Pasal 29 UUD 1945 merupakan penegasan atas peran yang harus dilakukan oleh negara untuk menjamin tiap-tiap penduduk agar merdeka dalam memeluk agama dan keyakinan yang dianutnya.
Di sisi lain, menurut Saldi, hak dasar untuk menganut agama, mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik.
Artinya, hak untuk menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu hak dalam kelompok hak-hak sipil dan politik yang diturunkan dari atau bersumber pada konsepsi hak-hak alamiah.
"Dengan demikian, dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis, negara dibentuk justru untuk melindungi, menghormati dan menjamin pemenuhan hak-hak tersebut," ucapnya.
"Sebagai hak asasi yang bersumber pada hak alamiah, hak ini melekat pada setiap orang karena ia adalah manusia, bukan pemberian negara," kata Saldi.
Pada kesempatan yang sama, hakim MK Maria Farida Indrati mengatakan, secara tekstual, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menempatkan agama selalu berkaitan dengan kepercayaan, di mana agama adalah kepercayaan itu sendiri.
Hanya saja, lanjut Maria, dengan membaca dan memahami keberadaan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, agama dan kepercayaan sangat mungkin dipahami sebagai dua hal yang berbeda atau tidak sama. Namun keduanya sama-sama diakui eksistensinya.
Pemahaman tersebut muncul karena Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 mengatur agama dan kepercayaan secara terpisah.
"Dengan demikian, istilah 'agama' dan 'kepercayaan' memang dipahami sebagai dua hal berbeda yang disetarakan," kata Maria.
Pengakuan eksistensi
Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola menilai putusan MK itu merupakan bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi penghayat kepercayaan.
"Bagus itu. Saya senang sekali sama Arief Hidayat karena kalimatnya bagus sekali. Agama impor kita akui, masa agama leluhur tidak kita akui. Benar itu," kata Thamrin di Jakarta, Selasa (7/11/2017).
(Baca juga : Pemerintah akan Patuhi Putusan MK Terkait Hak Administrasi Penghayat Kepercayaan)
Menurut Thamrin, sebenarnya tidak ada kata "pengakuan" dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan.