JAKARTA, KOMPAS.com — Delapan hari sudah Setya Novanto memimpin lembaga perwakilan rakyat, DPR, dari balik jeruji Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Novanto, yang ditahan KPK sejak pekan lalu, tak mau melepas atau dilepas dari jabatannya sebagai Ketua DPR.
Keteguhan sikapnya itu bahkan sejak ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi e-KTP untuk kedua kalinya.
Desakan mundur dari berbagai kalangan tak menggoyahkannya. Partai Golkar, partai yang juga dipimpin Novanto, mendukung sikap itu.
Baca: Nurdin Halid Harap Novanto Legawa Lepas Jabatan Ketum Golkar
Untuk mempertahankan jabatannya, Novanto mengirimkan surat kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dan Partai Golkar. Isinya, memohon MKD menangguhkan rapat yang akan membahas nasibnya hingga gugatan praperadilan yang diajukannya selesai.
Setidaknya, hal itu tergambar dari hasil survei Poltracking Indonesia, Minggu (26/11/2017). DPR menempati urutan paling akhir dalam hal tingkat kepercayaan publik. Tercatat hanya 34 persen reponden yang puas terhadap kinerja DPR.
Minim budaya malu
Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda mengatakan, kasus yang menimpa satu orang atau beberapa politisi akan berdampak terhadap kelembagaan DPR.
Contohnya, kasus korupsi e-KTP yang menjerat Novanto.
"Harusnya data ini memacu dan memicu parpol melakukan pembenahan untuk memperbaiki," kata Hanta.
Baca juga: Novanto Masih Bertahan Jadi Ketum Golkar karena Jasanya, Apa Saja?
Pengamat politik Universitas Nasional, Alfan Alfian, menilai, keengganan Novanto mundur dari jabatan Ketua DPR menunjukkan minimnya budaya malu dalam politik Indonesia.
Hal itu, katanya, berbeda jauh dengan negara lain, seperti Jepang.
Alfan mengatakan, meski Jepang dan Indonesia berkultur timur, budaya malu di Jepang lebih dijunjung tinggi ketimbang di Indonesia.