Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ILR: Skor Independensi Kekuasaan Kehakiman Merosot

Kompas.com - 05/09/2017, 18:05 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil survei dan analisis Indonesian Legal Roundtable (ILR) menyatakan, independensi kekuasaan kehakiman mengalami kemerosotan.

Hal tersebut disampaikan Direktur ILR Todung Mulya Lubis, saat memaparkan hasil survei tersebut.

Pada 2015, ILR memberi skor independensi kekuasaan kehakiman 5,76 dengan nilai indeksnya 1,48. Namun, tahun ini independensi kekuasaan kehakiman mendapat skor 5,74 dengan nilai indeks 1,44.

"Indikator yang sangat penting buat negara hukum, tetapi skornya tidak terlalu baik, agak merosot, (menjadi) 5,74. Sedangkan indeks kekuasaan kehakiman adalah 1,44," kata Todung, di acara rilisnya yang digelar di di The Akmani Hotel, Jalan KH. Wahid Hasyim, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (5/9/2017).

(Baca juga: Indeks Negara Hukum Indonesia Mengalami Penurunan)

Padahal, lanjut Todung, mayoritas responden menginginkan supaya tidak ada intervensi dalam kekuasaan kehakiman. Namun, faktanya menurut survei, banyak pihak yang mencoba memengaruhi hakim.

"Nyatanya banyak yang mencoba memengaruhi independensi hakim. Kalau kita lihat indeks ini antara lain pemerintah daerah, anggota DPR, partai politik, tokoh masyarakat, advokat, ormas, pengusaha dan pejabat pengadilan yang lebih tinggi," ujar Todung.

Persentasenya adalah, sebanyak 17,5 persen responden menilai pemerintah daerah sangat sering memengaruhi hakim, 12,5 persen sering, 30 persen cukup sering, 22,5 persen jarang, 17,5 persen menyatakan tidak pernah.

Kemudian, sebanyak 5 persen responden menilai anggota dewan paling sering memengaruhi hakim, 30 persen menyatakan sering, 25 persen cukup sering, 27,5 persen jarang, dan 12,5 persen tidak pernah.

Sementara itu, sebanyak 10 persen responden menyatakan partai politik paling sering memengaruhi hakim, 27,5 persen sering, 25 persen cukup sering, 25 persen jarang, 12,5 persen tidak pernah.

Sebanyak 7,5 persen responden menyatakan tokoh masyarakat paling sering memengaruhi hakim, 10 persen sering, 20 persen cukup sering, 52,5 persen jarang, dan 10 persen tidak pernah.

Kemudian 20 persen responden menilai pihak berperkara atau advokat paling sering memengaruhi hakim, 32,5 persen sering, 25 persen cukup sering, 17,5 persen jarang, dan 5 persen menilai tidak pernah.

(Baca juga: Perma Pemidanaan Korporasi Dapat Naikkan Indeks Persepsi Korupsi)

Sebanyak 17,5 persen responden menilai ormas paling sering memengaruhi hakim, 17,5 persen sering, 22,5 persen cukup sering, 32,5 persen jarang, dan 10 persen menilai tidak pernah.

Kemudian 32,5 persen responden menilai pengusaha paling sering memengaruhi hakim, 25 persen sering, 17,5 persen cukup sering, 17,5 persen jarang, dan 7,5 persen menilai tidak pernah.

Terakhir, sebanyak 22,5 persen responden menyatakan pejabat pengadilan yang lebih tinggi paling sering memengaruhi hakim, 10 persen sering, 35 persen cukup sering, 25 persen jarang, dan 7,5 persen menilai tidak pernah.

Todung menyatakan, seharusnya intervensi terhadap hakim itu bisa dibendung. Sebab, mayoritas responden di survei ini, lanjut Todung, menyatakan penghasilan hakim dinilai sudah cukup.

"Sebanyak 65 persen responden sudah mengatakan bahwa gaji para hakim sudah cukup layak untuk hisa hidup memadai," ujar Todung.

Karena itu, dia menilai, ada yang salah pada pendidikan hukum di negara ini.

"Sebagian dari kesalahan itu adalah, mungkin cita-cita negara hukum itu belum sepenuhnya berhasil diejawantahkan dalam dunia pendidikan hukum di indonesia. Pendidikan hukum kita gagal untuk mendirikan negara hukum itu," ujar dia.

Adapun survei ini dilakukan dengan responden 120 orang ahli dari 20 provinsi di Indonesia. Responden tersebut tersebar dalam berbagai jenis profesi seperti akademisi, praktisi hukum, dan aktivis masyarakat.

Kompas TV Hilangnya Nama Setya Novanto dalam Berkas Putusan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com