KOMPAS.com - Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Said Abdullah mengomentari wacana amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang kembali mencuat.
“Yang perlu dipertegas adalah kebutuhan kita ke depan, bukan kembali ke naskah asli UUD 1945 sebelum amandemen,” ujarnya dalam siaran pers, Senin (1/7/2024).
Dia menyebutkan, para pendiri bangsa mengakui bahwa konstitusi yang mereka rumuskan sebelumnya bukanlah harga final.
Oleh karenanya, dibutuhkan berbagai penyesuaian baru yang sejalan dengan kemajuan zaman aga UUD yang lebih relevan.
Said mengatakan, salah satu poin penting terkait jika amandemen UUD 1945 dilakukan adalah penguatan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Baca juga: Isu Amandemen Kelima UUD 1945 dan Keterwakilan Masyarakat
“Sejak amandemen keempat UUD 1945, peran MPR menjadi gamang, hanya menjadi lembaga negara yang mengurus fungsi fungsi formal kenegaraan, seperti pelantikan presiden,” ujarnya.
Said menyebutkan, PDI-P berpandangan MPR perlu ditempatkan sebagai lembaga negara yang berwenang kembali menetapkan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Menurutnya, ketiadaan GBHN membuat pemerintahan lima tahunan amat bergantung pada orientasi pembangunan dari presiden terpilih tiap lima tahunan.
“Risikonya, presiden yang berbeda orientasi berpotensi mengganggu kelangsungan tahapan pembangunan jangka panjang,” katanya.
Meskipun telah ada undang-undang (UU) yang mengatur rencana pembangunan jangka panjang, kewenangan pengawasan hanya ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“ Padahal, sistem perwakilan kita bikameral. Dengan meletakkan kembali GBHN dalam ketatanegaraan, maka akan menguatkan pengawasan berbasis bikameral, yakni DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD),” jelasnya.
Selain itu, lanjut Said, kedudukan politik MPR juga akan lebih kuat karena secara bersamaan ditetapkan kembali Ketetapan MPR (Tap MPR) sebagai hirarki hukum yang berada di atas UU.
Dengan demikian, sumber rujukan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) adalah UUD 1945 dan Tap MPR. Adapun penempatan Tap MPR sebagai sumber rujukan hukum MK diletakkan semata-mata dalam urusan pembangunan.
Lebih lanjut, Said menyoroti pentingnya membahas format pemilihan umum (pemilu) jika wacana amandemen UUD 1945 dilakukan.
“Salah satunya kerisauan kita atas demokrasi yang kita jalani saat ini adalah kian berbiaya mahal. Akibatnya, rekrutmen politik tidak semata mata mengandalkan pengabdian, integritas, dan intelektualitas,” ujarnya.