Menjawab tantangan besar tersebut tentu saja membutuhkan perjuangan besar pula. Kegigihan Prabowo ditantang kembali.
Kegigihan itu terbukti telah membuahkan perubahan besar pada diri Prabowo – dari calon presiden menjadi presiden terpilih – kini ditantang, apakah akan membuahkan perubahan besar pula pada publik dari kecemasan akan kembalinya kepemimpinan otoriter menjadi keyakinan akan hadirnya kepemimpinan demokratis.
Dari skeptisisme menjadi optimisme tentang masa depan demokrasi Indonesia.
Sebenarnya, menurut hemat saya, sebagian publik telah “memaklumi” jejak masa lalu Prabowo yang tragis, kontroversial. Namun, permakluman bukan berarti jejak masa lalu itu hilang dari memori kolektif. Hanya semacam “berdamai” sesuai konteks kepentingannya.
Maka, tak heran jejak itu timbul-tenggelam menyertai konteksnya. Terbukti Prabowo selalu mendapatkan tempat dalam kontestasi pilpres sejak 2009 hingga 2024. Antara lawan dan kawan hanya berganti tempat. Kemarin kawan, kini lawan. Pun sebaliknya, kemarin lawan kini kawan.
Saat kawan, jejak masa lalu yang tragis, kontroversial, dilupakan. Sebaliknya, saat lawan, diingat-ingatkan.
Sementara itu, proses politik pada Pilpres 2024 dianggap cacat dari segi hukum dan etik, sehingga mengurangi legitimasinya.
Putusan MK yang menolak permohonan pasangan 01 dan 03 tidak serta merta menghapus kecacatan tersebut di benak sebagian publik.
Apalagi dari delapan hakim MK, ada tiga hakim yang menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion).
Misalnya, Saldi Isra berkeyakinan bahwa telah terjadi upaya politisasi bantuan sosial (bansos) dan mobilisasi aparat dengan tujuan keuntungan elektoral.
Enny Nurbaningsih menyoroti ketidaknetralan sejumlah penjabat kepala daerah dan aparatur sipil negara (ASN).
Arief Hidayat menilai bahwa Pemilu 2024 menandakan kualitas demokrasi di Indonesia menurun, bahkan mengalami defisit mengkhawatirkan. Ia juga menilai presiden seolah-olah menyuburkan politik dinasti dan nepotisme yang berpotensi mengancam tata nilai demokrasi.
Putusan MK pada 22 April 2024, memberikan kepastian hukum atas sengketa Pilpres 2024; mengakhiri proses pilpres yang memang harus berakhir. Tapi, saya kira, bukan sepenuhnya memulihkan legitimasi yang menyusut.
MK mengakui keterbatasannya, tak mungkin menampung dan menyelesaikan semua permasalahan terkait pemilu. MK bukan “keranjang sampah”.
Maka, pada sidang 22 April 2024, selain memberi pertimbangan hukum untuk memutus perkara, MK juga memberi masukan perbaikan sistem pemilu, terutama di ranah penyelenggara pemilu. Termasuk mengingatkan kewenangan konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait penyelenggaraan pemilu.
Pemulihan legitimasi berada pada ranah politik. Maka, kegigihan Prabowo, perjuangan besarnya di jalan politik ditunggu lagi oleh rakyat Indonesia.
Saya percaya bahwa Prabowo Subianto, presiden terpilih pada Pilpres 2024, tak akan menyia-nyiakan momentum yang telah diberikan oleh sejarah.
Saya juga percaya bahwa mereka yang kalah dalam kontestasi Pilpres 2024 akan realistis berkat kenegarawanannya.
Setidaknya sudah tampak dari penerimaan Anies – Muhaimin dan Ganjar – Mahfud terhadap putusan MK dan pemberian ucapan selamat kepada Prabowo – Gibran oleh mereka.
Publik pun penuh harap akan masa depan demokrasi Indonesia. Kritik tajam yang dilontarkan sebagian publik, termasuk membanjirnya “amicus curiae” pada sidang MK, hakikatnya adalah kehendak bersama untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia.
Karena itu, Prabowo niscaya akan mengambil langkah besar secara politik, sebagaimana yang ia percayai bahwa tidak ada perubahan besar yang terjadi tanpa perjuangan gigih, perjuangan besar.
Dan, perjuangan yang besar untuk perubahan besar itu kini telah di tangannya. Wujudnya bukan perjuangan militer, melainkan perjuangan politik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.