Kelasnya sebagai perwira sangat nyata. Meski kalah tiga kali berturut-turut (sekali sebagai cawapres dan dua kali sebagai capres), Prabowo tak mundur dari laga di medan politik. Alih-strategi pun dilakukan.
Prabowo lalu menerima ajakan Jokowi masuk kabinetnya sebagai Menteri Pertahanan pascakekalahannya pada Pilpres 2019. Ternyata bukan jalan mulus. Kontroversial juga.
Alih-strategi Prabowo menuai kecaman. Pun dari pendukungnya sendiri saat itu. Sebagian menganggap Prabowo “berkhianat”. Sebagian lain “mengamini”.
Menerima ajakan Jokowi sebagai anak buahnya bukan menurunkan harga diri, melainkan menunjukkan “kebesaran jiwa”, kenegarawanan.
Prabowo membuktikannya. Ia menunjukkan kegigihannya sebagai anak buah Jokowi. Tak memperlihatkan dirinya mantan kompetitor Jokowi.
Bahkan, dalam banyak kesempatan Prabowo secara terbuka memuji-muji Jokowi dan menganggapnya “mentor politik”.
Alih-strategi Prabowo menuai hasil. Jokowi merasa nyaman dan dapat merealisasikan ide-ide besarnya yang disebut “Proyek Strategis Nasional” (PSN) tanpa gangguan politik yang berarti.
Satu di antara PSN yang menjadi mimpi besar Jokowi adalah Ibu Kota Nusantara (IKN). Ia mendapatkan tambahan dukungan politik yang relatif besar dari gerbong Prabowo untuk mimpi besarnya itu.
Pelan tapi pasti, berkah politis pun dituai Prabowo. Jokowi tampak makin memercayainya. Jokowi juga sering memperlihatkan kedekatannya dengan Prabowo di berbagai kesempatan.
Maka, pada Pilpres 2024, Prabowo tidak lagi menantang Jokowi. Prabowo mencari cara merebut dukungan Jokowi, mencari jalan bersekutu dengan Jokowi.
Padahal, Jokowi adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang tentu saja memiliki jago sendiri pada Pilpres 2024. PDIP menjagokan Ganjar Pranowo, mantan gubernur Jawa Tengah, yang deklarasinya dihadiri juga Jokowi.
Alih-strategi Prabowo menemukan jawaban nyata melalui putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Wali Kota Solo itu dipinangnya sebagai cawapres, meski usianya belum memenuhi syarat.
Prabowo sukses menyandingkan Gibran dengan dirinya. Meski jalannya kontroversial, dikecam banyak kalangan, dan menimbulkan kegaduhan politik yang relatif hebat.
Proses yang dilalui dianggap menabrak aturan dan kepatutan (etika), karena harus merekayasa hukum melalui MK dengan melibatkan Ketua MK Anwar Usman, paman Gibran, adik ipar Jokowi.
MK membuat putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang intinya mengubah syarat capres dan cawapres. Gibran yang semula tidak memenuhi syarat, dengan putusan Nomor 90 itu akhirnya memenuhi syarat.
Proses yang kontroversial itu juga mengundang hal-hal lain yang kontroversial pula. Jokowi lalu menjadi sorotan publik. Ia menjadi pokok perbincangan publik.
Sebagian publik mengkritik keras Jokowi. Dari sisi PDIP, Jokowi dinilai bak Malin Kundang. Dari sisi publik, ia dianggap menodainya sendiri jejak baik – disebut pula “role model” kepemimpinan – yang telah ditorehkannya dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Jokowi juga dianggap menumbuhkan kembali nepotisme dan politik dinasti yang telah susah payah diperangi. Jokowi juga dianggap menggunakan kekuasaannya demi kemenangan pasangan Prabowo – Gibran.
Prabowo berhasil. Pasangan 02 (Prabowo – Gibran) mengumpulkan suara terbanyak pada Pilpres 2024.
Namun, jalan kontroversi yang dilalui Prabowo ternyata belum berakhir. Kompetitornya, baik pasangan 01 (Anies – Muhaimin) maupun pasangan 03 (Ganjar – Mahfud), tidak menerima hasil itu. Mereka menuntut keadilan melalui MK.
Kemenangan Prabowo – Gibran dianggap ada unsur penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Hal-hal kontroversial yang menyertai pencalonan Prabowo – Gibran dipermasalahkan melalui MK. Pun kemenangannya.
Maka, sidang sengketa Pilpres 2024 di MK sangat spesifik. Berbeda sekali dengan pilpres sebelumnya. Kali ini MK memanggil pula sejumlah menteri. MK juga kebanjiran “amicus curiae” (sahabat pengadilan) yang diajukan sejumlah kalangan.
Namun, sebagaimana kita ketahui, meski tidak bulat, pada sidang 22 April 2024 MK menolak permohonan pasangan 01 dan pasangan 03. Pasangan 02 (Prabowo – Gibran) sah sebagai pemenang Pilpres 2024 dan tinggal menunggu penetapan oleh KPU.
Ada tantangan besar bagi Prabowo dari berkah politis yang dituainya di jalan kontroversi. Tantangan besar itu terbentuk dari jejak masa lalu Prabowo yang tak terhapus dari memori kolektif sebagian publik dan proses politik yang dilalui pada Pilpres 2024.
Pertemuan dua hal itu menimbulkan kecemasan bahwa pemerintahan Prabowo berpotensi jatuh pada otoritarianisme. Kepemimpinannya akan rentan terhadap godaan kesewenang-wenangan, kepemimpinan otoriter.