Pada pokoknya, Saldi menyatakan, dalil permohonan Anies dan Ganjar sepanjang berkaitan dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum.
Saldi pun meyakini terdapat masalah netralitas penjabat (Pj) kepala daerah dan pengerahan kepala desa di Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan, sehingga ia merasa perlu digelar pemungutan suara ulang pada daerah dimaksud.
Sementara itu, hakim Arief Hidayat meyakini rezim Joko Widodo telah berpihak dalam Pilpres 2024 yang dimenangi oleh Prabowo Subianto yang berpasangan dengan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
"Apa yang dilakukan Presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan," kata Arief membacakan bagian dissenting opinion-nya yang dicetak tebal itu, Senin (22/4/2024).
Baca juga: Gugatan Anies dan Ganjar Ditolak, Prabowo: Terima Kasih kepada MK yang Sudah Jalankan Tugas Berat
Ia menyinggung, sejak Pilpres 2004 hingga 2019, tak pernah ditemukan pemerintah turut campur dan cawe-cawe dalam pilpres.
"Pada Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 2024, terjadi hiruk pikuk dan kegaduhan disebabkan secara terang-terangan Presiden dan aparaturnya bersikap tak netral bahkan mendukung pasangan calon presiden tertentu," imbuhnya.
Ia menyoroti, karena hal ini, maka dalam hal mengadili sengketa Pilpres 2024, MK sepatutnya tak boleh hanya sekedar berhukum melalui pendekatan yang formal-legalistik-dogmatis yang hanya menghasilkan rumusan hukum yang rigid, kaku, dan bersifat prosedural.
MK seharusnya, kata dia, perlu berhukum secara informal-nonlegalistik-ekstensif yang menghasilkan rumusan hukum yang progresif, solutif, dan substantif tatkala melihat adanya pelanggaran terhadap asas-asas pemilu.
"Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan segenap struktur politik kementerian dan lembaga dari tingkat pusat hingga level daerah telah bertindak partisan dan memihak calon pasangan tertentu," ujar Arief.
"Tindakan ini secara jelas telah mencederai sistem keadilan Pemilu (electoral justice) yang termuat tidak hanya di dalam berbagai instrumen hukum internasional, tetapi juga diadopsi di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pada titik inilah pemerintah telah melakukan pelanggaran Pemilu secara terstruktur dan sistematis," jelas eks Ketua MK itu.
Dari segi struktur hukum, Arief meyakini, telah terjadi intervensi cabang kekuasaan tertentu yang menyebabkan disproporsionalitas pembagian fungsi dan wewenang lembaga negara dalam penyelenggaraan pemilu.
Baca juga: Cak Imin dan PKB Apresiasi 3 Hakim MK yang Dissenting Opinion dalam Putusan Sengketa Pilpres
Ia menyinggung bahwa hal ini menimbulkan masalah ketiadaan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) antar cabang kekuasaan negara untuk memastikan bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan yang terkait dengan proses pemilu sejalan dengan hukum, dalam hal ini konstitusi dan undang-undang.
"Tak boleh ada peluang sedikit pun bagi cabang kekuasaan tertentu untuk cawe-cawe dan memihak dalam proses Pemilu Serentak 2024," ujar Arief yang sudah 3 kali mengadili sengketa Pilpres 2024.
"Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan segenap struktur politik kementerian dan lembaga dari tingkat pusat hingga level daerah telah bertindak partisan dan memihak calon pasangan tertentu," urainya.
Baca juga: Prabowo Bersyukur MK Tolak Gugatan Anies dan Ganjar
Sementara itu, Arief Hidayat berpendapat seharusnya Mahkamah memerintahkan KPU RI untuk menghelat pemungutan suara ulang di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.