Muncul isu bahwa Partai Nasdem akan mendapatkan jatah beberapa kursi menteri. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga diisukan akan peroleh kuota tertentu jika bergabung dengan Prabowo – Gibran.
Dari dua persoalan yang saya jabarkan di atas, publik tentu menunggu jalan keluar, terutama dari Prabowo Subinto, sebagai presiden terpilih.
Sebab, apapun jalan keluar yang diambil Prabowo, akan sangat menentukan jalannya pemerintahan lima tahun ke depan. Dalam hal ini, pilihan-pilihan tersebut akan sangat berkaitan dengan soliditas partai koalisi yang ujungnya terkait juga dengan efektifitas penyelenggaran pemerintahan.
Sebenarnya, jika mencermati dinamika komunikasi politik Prabowo pada beberapa minggu belakangan ini, terlihat bahwa dia sudah mengupayakan jalan keluar atas persoalan yang ada. Hal ini dapat kita jejaki dari pernyataan-pernyataannya melalui media massa.
Terkait penentuan kabinet misalnya, Probowo berkeinginan melibatkan Presiden Jokowi.
Meski belum jelas, pelibatan Jokowi tersebut sampai sebatas mana; apakah menyangkut penentuan bentuk atau format koalisi? Jumlah kursi menteri bagi masing-masing partai koalisi? Atau penentuan figur mana yang cocok untuk menduduki posisi menteri apa?
Pelibatan Jokowi mengingat pengalamannya selama sepuluh tahun terakhir sebagai presiden. Sampai sejauh ini belum terjelaskan kepada publik.
Pilihan Prabowo untuk melibatkan Jokowi dalam hal penyusunan kabinetnya, alih-alih meredam suara-suara sumbang dari berbagai pihak, yang terjadi malah memunculkan polemik baru.
Banyak pengamat, analis politik dan komunikasi politik memandang langkah demikian menjadikan kabinet Prabowo tidak otentik.
Bagi saya sendiri, pilihan Prabowo tersebut akan memunculkan sejumlah persoalan. Pertama, akan muncul rasa cemburu dari partai koalisi, terutama dari ketua umum partainya.
Mungkin saat ini belum ditunjukan, tapi nanti setelah Jokowi lengser, perasaan itu akan menyeruak secara terang-terangan ke publik. Belum apa-apa, Andi Arief sudah menolak ide menjadikan Jokowi sebagai pemimpin koalisi.
Kedua, loyalitas menteri akan terbagi dua. Para menteri yang dipilih atau ditentukan oleh Prabowo, mungkin akan loyal kepadanya. Namun menteri yang direkomendasikan Jokowi, belum tentu akan loyal kepada Prabowo.
Bisa saja, loyalitasnya ditunjukan lebih kepada Jokowi, melalui wakil presiden, Gibran Rakabumung Raka.
Cerita tentang dualitas loyalitas menteri pernah kita dengar terjadi pada saat pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla. Saat itu, beberapa menteri ternyata lebih mengikuti perintah Jusuf Kalla, ketimbang Presiden Jokowi.
Ketiga, adanya dualitas loyalitas tersebut, tentu saja akan memberikan kesan ke publik bahwa ada matahari kembar dalam pemerintahan berjalan. Apalagi, jika dualitas loyalitas para menteri tersebut, oleh para menteri, ditunjukan secara terbuka kepada publik.
Hal ini tentu saja akan memiliki efek domino terhadap, misalnya kurangnya kepercayaan investor kepada pemerintahan Prabowo, kinerja kelembagaan dalam kementerian, percepatan atau bahkan suksesi program-program Prabowo-Gibran.
Secara normatif, penentuan jumlah, posisi, serta orang yang akan menduduki jabatan menteri tertentu, memang menjadi hak prerogatif presiden.
Meski demikian, jika presiden terpilih tidak mengelola berbagai kepentingan yang ada secara baik, akan berakibat buruk bagi pemerintahannya.
Tentu soliditas koalisi dipertaruhkan karena ada partai yang merasa dianak tirikan, sementara yang lain seolah dianak emaskan.
Terlebih jika partai-partai yang baru bergabung nantinya, ternyata memperoleh jatah kursi yang sama atau bahkan melebihi partai yang sudah sejak awal tergabung dalam koalisi saat mengusung Prabowo-Gibran.
Permasalahan soliditas partai koalisi ini tentu saja akan berdampak pada efektifitas kerja pemerintahan. Kerja-kerja eksekutif akan terganggu karena mereka saling gontok-gontokan di dalam.
Lebih bermasalah lagi ketika program dan kebijakan eksekutif mendapatkan pertentangan atau bahkan penolakan di DPR.