SEBAGAI negara yang masih bertahap menuju pada keterbukaan politik dan sosial, Indonesia sangat membutuhkan penguatan demokrasi dan hadirnya penyeimbang kekuasaan.
Penguatan demokrasi harus mempertimbangkan partisipasi politik inklusif, di mana hadirnya oposisi bagian di dalamnya dan alat pengukur yang paling jelas.
Sulit untuk mempertahankan negara yang demokratis tanpa oposisi politik signifikan. Demokrasi yang sehat membutuhkan pluralisme politik untuk mencegah penyimpangan kekuasaan.
Dugaan yang hampir mendekati keyakinan bahwa kekuasaan yang absolut, kata Lord Acton, dipastikan menyimpang (absolute power corrupts absolutely).
Carl Schmitt (1927) menyebutkan, oposisi dibutuhkan, selain sebagai bagian integral dari dinamika politik yang sehat, karena kekuasaan secara alami membutuhkan adanya "teman" dan "musuh".
Kehadiran oposisi sangat berguna bagi kekuasaan untuk membangun konsolidasi internal. Kekuasaan yang tidak memiliki “musuh” akan rentan dengan konflik internal. Akan saling sikut dengan sesama “teman.”
Lain halnya kalau ada "musuh" di luar, menyatukan kekuatan internal akan mudah.
Oposisi adalah semacam alat pemicu detak jantung, yang dapat memompa kinerja kekuasaan. Dalam hal tertentu, kita mengejar prestasi kinerja dalam mengelola kekuasaan karena ingin menunjukkan kepada musuh bahwa “kita” mampu berhasil dalam berkuasa.
Apabila tidak ada oposisi, kepada siapa nanti “kita” memamerkan keberhasilan kinerja kekuasaan?
Kalau sekadar memamerkan kepada para pendukung setia, komunikasi politik tidak terlalu bermanfaat, selain juga akan banyak manipulasinya.
Kenapa? Karena tidak akan ada yang mengoreksi. Koreksi, kritik, dan bantahan dari “musuh” sangat diperlukan untuk meningkatkan popularitas dan soliditas rezim berkuasa.
Oposisi sangat berguna bagi suatu rezim untuk bercermin dalam rangka mengetahui bintik-bintik hitam kinerja kekuasaan.
Dipastikan dalam wajah kekuasaan yang “glowing” akibat puja-puji “teman” sangat sukar dideteksi bintik kekurangan, karena puja-puji “teman” akan semakin menambah gede rasa keglowingan wajah rezim berkuasa.
Oposisi berguna sebagai batu loncatan menyempurnakan kinerja kekuasaan. Namun, sudah barang tentu bukan oposisi yang terlalu dominan.
Oposisi yang terlalu dominan di atas rezim berkuasa bukan batu loncatan penyempurna kinerja, malah bisa menjadi “batu peremuk” kekuasaan.