Jumlah partai oposisi yang terlalu banyak pun tidak menyehatkan dan cenderung membahayakan. Oleh sebab itu, rezim berkuasa harus bisa dan piawai berbagi “kue kekuasaan”.
Dalam hal ini, politik transaksional yang wajar diperlukan untuk ditempuh. Politik transaksional yang wajar adalah negosiasi, kompromi, atau pertukaran kepentingan dengan sesama aktor politik yang “seiman” untuk mencapai kepentingan yang lebih luas.
Kita sering mendengar pernyataan bahwa menjadi oposisi, dengan cara memosisikan diri di luar pemerintahan, sama mulianya dengan barisan koalisi dalam pemerintahan. Pernyataan ini benar, namun perlu dikorelasikan dengan konteks dan budaya politik negara kita.
Secara umum, dalam negara demokrasi yang sehat, baik oposisi maupun koalisi memiliki peran penting dalam sistem politik.
Namun, di negara kita yang menganut sistem multipartai, di mana politik didominasi oleh persaingan sengit, oposisi belum banyak dihormati, bahkan dianggap sebagai ancaman.
Dengan demikian, sedikit cukup beralasan kalau agak sukar menemukan partai politik yang mau secara suka rela memosisikan diri sebagai oposisi.
Sehubungan dengan hal di atas, apakah perlu dipikirkan ada regulasi yang mengatur tentang keharusan ada oposisi?
Kalau perlu, dibuat kriteria tertentu untuk mengkategori partai yang harus menjadi oposisi. Sebab, kesiapan partai-partai untuk memosisikan diri sebagai oposisi sepertinya semakin redup, padahal dibutuhkan.
Bahkan, tidak jarang dibenturkan dengan “opini sesat” bahwa sistem presidensil tidak mengenal oposisi.
Ketidakhadiran oposisi dalam suatu negara akan mengakibatkan “kiamat ketatanegaraan”. Di balik keademan, keseragaman, dan ketertiban terdapat kekuasaan yang liar karena tidak ada yang mengontrol.
Check and balances tidak akan pernah muncul, padahal diamanahkan oleh Konstitusi supaya terselenggara.
Pada umumnya, di semua negara yang menghormati demokrasi oposisi selalu hadir. Hal itu bukan karena sekadar konsekuensi kekalahan persaingan, melainkan kebutuhan fungsional, yaitu untuk mengontrol kekuasaan yang bisa cenderung otoriter apabila tidak diimbangi oleh kekuatan di luar pemerintahan.
Perlu dicatat bahwa oposisi itu bukan asal beda dengan pemerintah, melainkan lebih dari itu, karena ada kebutuhan dan tujuan jangka panjang, yaitu meraih kekuasaan yang sedang dipegang oleh rezim berkuasa.
Oposisi akan efektif apabila dilakukan oleh kekuatan politik yang memiliki tiga elemen, yaitu ideologi terfokus, massa real, dan figur otoritatif.
Atau, apabila tidak terdapat partai yang memenuhi tiga element tersebut sekaligus, dapat saja bergandengnya satu atau dua partai untuk saling lengkapi. Oposisi tidak akan efektif dilakukan oleh partai yang karakter ideologinya labil atau oportunis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.