Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ija Suntana
Dosen

Pengajar pada Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Membutuhkan Oposisi

Kompas.com - 15/04/2024, 05:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jumlah partai oposisi yang terlalu banyak pun tidak menyehatkan dan cenderung membahayakan. Oleh sebab itu, rezim berkuasa harus bisa dan piawai berbagi “kue kekuasaan”.

Dalam hal ini, politik transaksional yang wajar diperlukan untuk ditempuh. Politik transaksional yang wajar adalah negosiasi, kompromi, atau pertukaran kepentingan dengan sesama aktor politik yang “seiman” untuk mencapai kepentingan yang lebih luas.

Oposisi dan koalisi sama mulia?

Kita sering mendengar pernyataan bahwa menjadi oposisi, dengan cara memosisikan diri di luar pemerintahan, sama mulianya dengan barisan koalisi dalam pemerintahan. Pernyataan ini benar, namun perlu dikorelasikan dengan konteks dan budaya politik negara kita.

Secara umum, dalam negara demokrasi yang sehat, baik oposisi maupun koalisi memiliki peran penting dalam sistem politik.

Namun, di negara kita yang menganut sistem multipartai, di mana politik didominasi oleh persaingan sengit, oposisi belum banyak dihormati, bahkan dianggap sebagai ancaman.

Dengan demikian, sedikit cukup beralasan kalau agak sukar menemukan partai politik yang mau secara suka rela memosisikan diri sebagai oposisi.

Sehubungan dengan hal di atas, apakah perlu dipikirkan ada regulasi yang mengatur tentang keharusan ada oposisi?

Kalau perlu, dibuat kriteria tertentu untuk mengkategori partai yang harus menjadi oposisi. Sebab, kesiapan partai-partai untuk memosisikan diri sebagai oposisi sepertinya semakin redup, padahal dibutuhkan.

Bahkan, tidak jarang dibenturkan dengan “opini sesat” bahwa sistem presidensil tidak mengenal oposisi.

Ketidakhadiran oposisi dalam suatu negara akan mengakibatkan “kiamat ketatanegaraan”. Di balik keademan, keseragaman, dan ketertiban terdapat kekuasaan yang liar karena tidak ada yang mengontrol.

Check and balances tidak akan pernah muncul, padahal diamanahkan oleh Konstitusi supaya terselenggara.

Pada umumnya, di semua negara yang menghormati demokrasi oposisi selalu hadir. Hal itu bukan karena sekadar konsekuensi kekalahan persaingan, melainkan kebutuhan fungsional, yaitu untuk mengontrol kekuasaan yang bisa cenderung otoriter apabila tidak diimbangi oleh kekuatan di luar pemerintahan.

Perlu dicatat bahwa oposisi itu bukan asal beda dengan pemerintah, melainkan lebih dari itu, karena ada kebutuhan dan tujuan jangka panjang, yaitu meraih kekuasaan yang sedang dipegang oleh rezim berkuasa.

Oposisi akan efektif apabila dilakukan oleh kekuatan politik yang memiliki tiga elemen, yaitu ideologi terfokus, massa real, dan figur otoritatif.

Atau, apabila tidak terdapat partai yang memenuhi tiga element tersebut sekaligus, dapat saja bergandengnya satu atau dua partai untuk saling lengkapi. Oposisi tidak akan efektif dilakukan oleh partai yang karakter ideologinya labil atau oportunis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

Nasional
Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Nasional
Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Nasional
Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat 'Geo Crybernetic'

Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat "Geo Crybernetic"

Nasional
Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

Nasional
Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya sebagai Cagub DKI Jakarta

Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya sebagai Cagub DKI Jakarta

Nasional
PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

Nasional
SYL Klaim Tak Pernah 'Cawe-cawe' soal Teknis Perjalanan Dinas

SYL Klaim Tak Pernah "Cawe-cawe" soal Teknis Perjalanan Dinas

Nasional
Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Nasional
Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Nasional
Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

Nasional
Anies dan Sudirman Said Sama-sama Ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

Anies dan Sudirman Said Sama-sama Ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com