Salin Artikel

Membutuhkan Oposisi

Penguatan demokrasi harus mempertimbangkan partisipasi politik inklusif, di mana hadirnya oposisi bagian di dalamnya dan alat pengukur yang paling jelas.

Sulit untuk mempertahankan negara yang demokratis tanpa oposisi politik signifikan. Demokrasi yang sehat membutuhkan pluralisme politik untuk mencegah penyimpangan kekuasaan.

Dugaan yang hampir mendekati keyakinan bahwa kekuasaan yang absolut, kata Lord Acton, dipastikan menyimpang (absolute power corrupts absolutely).

Carl Schmitt (1927) menyebutkan, oposisi dibutuhkan, selain sebagai bagian integral dari dinamika politik yang sehat, karena kekuasaan secara alami membutuhkan adanya "teman" dan "musuh".

Kehadiran oposisi sangat berguna bagi kekuasaan untuk membangun konsolidasi internal. Kekuasaan yang tidak memiliki “musuh” akan rentan dengan konflik internal. Akan saling sikut dengan sesama “teman.”

Lain halnya kalau ada "musuh" di luar, menyatukan kekuatan internal akan mudah.

Oposisi adalah semacam alat pemicu detak jantung, yang dapat memompa kinerja kekuasaan. Dalam hal tertentu, kita mengejar prestasi kinerja dalam mengelola kekuasaan karena ingin menunjukkan kepada musuh bahwa “kita” mampu berhasil dalam berkuasa.

Apabila tidak ada oposisi, kepada siapa nanti “kita” memamerkan keberhasilan kinerja kekuasaan?

Kalau sekadar memamerkan kepada para pendukung setia, komunikasi politik tidak terlalu bermanfaat, selain juga akan banyak manipulasinya.

Kenapa? Karena tidak akan ada yang mengoreksi. Koreksi, kritik, dan bantahan dari “musuh” sangat diperlukan untuk meningkatkan popularitas dan soliditas rezim berkuasa.

Oposisi sangat berguna bagi suatu rezim untuk bercermin dalam rangka mengetahui bintik-bintik hitam kinerja kekuasaan.

Dipastikan dalam wajah kekuasaan yang “glowing” akibat puja-puji “teman” sangat sukar dideteksi bintik kekurangan, karena puja-puji “teman” akan semakin menambah gede rasa keglowingan wajah rezim berkuasa.

Oposisi berguna sebagai batu loncatan menyempurnakan kinerja kekuasaan. Namun, sudah barang tentu bukan oposisi yang terlalu dominan.

Oposisi yang terlalu dominan di atas rezim berkuasa bukan batu loncatan penyempurna kinerja, malah bisa menjadi “batu peremuk” kekuasaan.

Jumlah partai oposisi yang terlalu banyak pun tidak menyehatkan dan cenderung membahayakan. Oleh sebab itu, rezim berkuasa harus bisa dan piawai berbagi “kue kekuasaan”.

Dalam hal ini, politik transaksional yang wajar diperlukan untuk ditempuh. Politik transaksional yang wajar adalah negosiasi, kompromi, atau pertukaran kepentingan dengan sesama aktor politik yang “seiman” untuk mencapai kepentingan yang lebih luas.

Oposisi dan koalisi sama mulia?

Kita sering mendengar pernyataan bahwa menjadi oposisi, dengan cara memosisikan diri di luar pemerintahan, sama mulianya dengan barisan koalisi dalam pemerintahan. Pernyataan ini benar, namun perlu dikorelasikan dengan konteks dan budaya politik negara kita.

Secara umum, dalam negara demokrasi yang sehat, baik oposisi maupun koalisi memiliki peran penting dalam sistem politik.

Namun, di negara kita yang menganut sistem multipartai, di mana politik didominasi oleh persaingan sengit, oposisi belum banyak dihormati, bahkan dianggap sebagai ancaman.

Dengan demikian, sedikit cukup beralasan kalau agak sukar menemukan partai politik yang mau secara suka rela memosisikan diri sebagai oposisi.

Sehubungan dengan hal di atas, apakah perlu dipikirkan ada regulasi yang mengatur tentang keharusan ada oposisi?

Kalau perlu, dibuat kriteria tertentu untuk mengkategori partai yang harus menjadi oposisi. Sebab, kesiapan partai-partai untuk memosisikan diri sebagai oposisi sepertinya semakin redup, padahal dibutuhkan.

Bahkan, tidak jarang dibenturkan dengan “opini sesat” bahwa sistem presidensil tidak mengenal oposisi.

Ketidakhadiran oposisi dalam suatu negara akan mengakibatkan “kiamat ketatanegaraan”. Di balik keademan, keseragaman, dan ketertiban terdapat kekuasaan yang liar karena tidak ada yang mengontrol.

Check and balances tidak akan pernah muncul, padahal diamanahkan oleh Konstitusi supaya terselenggara.

Pada umumnya, di semua negara yang menghormati demokrasi oposisi selalu hadir. Hal itu bukan karena sekadar konsekuensi kekalahan persaingan, melainkan kebutuhan fungsional, yaitu untuk mengontrol kekuasaan yang bisa cenderung otoriter apabila tidak diimbangi oleh kekuatan di luar pemerintahan.

Perlu dicatat bahwa oposisi itu bukan asal beda dengan pemerintah, melainkan lebih dari itu, karena ada kebutuhan dan tujuan jangka panjang, yaitu meraih kekuasaan yang sedang dipegang oleh rezim berkuasa.

Oposisi akan efektif apabila dilakukan oleh kekuatan politik yang memiliki tiga elemen, yaitu ideologi terfokus, massa real, dan figur otoritatif.

Atau, apabila tidak terdapat partai yang memenuhi tiga element tersebut sekaligus, dapat saja bergandengnya satu atau dua partai untuk saling lengkapi. Oposisi tidak akan efektif dilakukan oleh partai yang karakter ideologinya labil atau oportunis.

https://nasional.kompas.com/read/2024/04/15/05350291/membutuhkan-oposisi

Terkini Lainnya

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Waspada MERS-CoV, Jemaah Haji Indonesia Diminta Melapor Jika Alami Demam Tinggi

Waspada MERS-CoV, Jemaah Haji Indonesia Diminta Melapor Jika Alami Demam Tinggi

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Datangi Rumah Airlangga, Klaim Sudah Didukung Golkar Maju Pilkada Jatim

Khofifah-Emil Dardak Datangi Rumah Airlangga, Klaim Sudah Didukung Golkar Maju Pilkada Jatim

Nasional
Kemenag Ingatkan Jemaah Haji Dilarang Bentangkan Spanduk dan Bendera di Arab Saudi

Kemenag Ingatkan Jemaah Haji Dilarang Bentangkan Spanduk dan Bendera di Arab Saudi

Nasional
Imigrasi Tangkap DPO Penyelundupan Manusia, Kerjasama dengan Istri Pelaku

Imigrasi Tangkap DPO Penyelundupan Manusia, Kerjasama dengan Istri Pelaku

Nasional
Canangkan Gerakan Literasi Desa, Wapres Ingin SDM Indonesia Unggul

Canangkan Gerakan Literasi Desa, Wapres Ingin SDM Indonesia Unggul

Nasional
DPR Sentil Kemendikbud yang Bilang Pendidikan Tinggi Tidak Wajib: Orang Miskin Dilarang Kuliah? Prihatin

DPR Sentil Kemendikbud yang Bilang Pendidikan Tinggi Tidak Wajib: Orang Miskin Dilarang Kuliah? Prihatin

Nasional
Respons Istana Soal Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P: Presiden Selalu Menghormati

Respons Istana Soal Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P: Presiden Selalu Menghormati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke