Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Birokrasi KPK Dinilai Wajib Dirombak Buat Tekan Pelanggaran Internal

Kompas.com - 28/06/2023, 19:12 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sistem birokrasi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sebaiknya dikembalikan seperti semula guna menekan tingkat pelanggaran di internal.

Selain itu, sistem birokrasi KPK sebelumbya juga melibatkan peran masyarakat buat mengawasi kinerja lembaga itu demi keterbukaan dan akuntabilitas.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai sistem birokrasi yang diterapkan di KPK saat ini kurang tepat.

Perubahan itu terjadi setelah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat melakukan revisi terhadap undang-undang lembaga itu dan menempatkannya di ranah eksekutif.

Baca juga: Pegawai KPK Diduga Tilap Uang Rp 550 Juta, IM57+: Harus Dipecat dan Dipidanakan!

"Yang salah sistem dan birokrasi yang dikembangkan. KPK harus dikembalikan pada sistem organisasi lama seperti lembaga swadaya masyarakat sehingga setiap orang bisa mengawasi yang lainnya," kata Fickar saat dihubungi pada Rabu (28/6/2023).

Selain itu, Fickar juga tetap tidak sepakat dengan status KPK saat ini berada di ranah eksekutif. Menurut dia seharusnya lembaga antikorupsi itu benar-benar berada di ranah yudikatif atau penegak hukum supaya tidak dicampuri dengan kepentingan politik dan kekuasaan.

"KPK harus menjadi lembaga independen kembali seperti semula, tidak ditempatkan pada jenis kekuasaan manapun, apalagi bagian dari eksekutif, ya pasti rusak," ujar Fickar.

Fickar juga menilai proses rekrutmen pimpinan dan pegawai di KPK harus diperketat, dan sebaiknya tidak lagi memilih komisioner dari kalangan birokrat atau aparatur sipil negara seperti pegawai negeri sipil, jaksa, polisi, atau hakim.

Baca juga: KPK Akan Serahkan Kasus Pidana Pelecehan Seksual Petugas Rutan ke Penegak Hukum Lain

"Komisioner harus benar-benar bukan berasal dari golongan profesi birokrasi, termasuk bekas hakim. Jadi harus murni dari masyarakat yang tidak pernah punya kepentingan pada jaringan atau bekas jaringannya. Jadi bisa benar-benar independen," papar Fickar.

Sebelumnya diberitakan, KPK membebastugaskan puluhan pegawai yang terlibat dugaan suap atau pemerasan terhadap tahanan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, kasus suap atau pemerasan di Rutan KPK merupakan kolusi.

Para tersangka korupsi yang ditahan menginginkan keleluasaan yang lebih melalui suap.

Baca juga: KPK Bakal Serahkan Kasus Pungli dan Pegawai Tilap Anggaran ke Penegak Hukum Lain Nantinya

Ia mencontohkan, mereka perlu berkomunikasi dengan pihak keluarga lebih leluasa atau makanan yang diinginkan.

“Itu yang kemudian mereka manfaatkan. Jadi kolusi sebenarnya,” ujar dia.

 

Kasus pungli di rutan KPK terungkap saat lembaga itu memproses laporan dugaan pelanggaran etik.

Anggota Dewas KPK Albertina Ho mengatakan, pihaknya telah mengungkap dugaan pungli itu dilakukan dengan setoran tunai.

“Semua itu menggunakan rekening pihak ketiga dan sebagainya,” ujar Albertina Ho.

Baca juga: KPK Sebut 15 Pegawai Sudah Jalani Pemeriksaan Disiplin Buntut Pungli di Rutan

Menurut dia, nilai pungli di rutan KPK cukup fantastis, yakni Rp 4 miliar dalam satu tahun. Albertina juga menyebut adanya kemungkinan jumlah uang pungli itu bertambah.

“Periodenya Desember 2021 sampai dengan Maret 2022 itu sejumlah Rp 4 miliar, jumlah sementara, mungkin akan berkembang lagi,” ujar Albertina Ho.

Setelah itu muncul kasus dugaan pemotongan uang perjalanan dinas pegawai KPK.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPK Cahya H. Harefa mengatakan, peristiwa ini merupakan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang terjadi di lingkup bidang kerja administrasi.

Menurut Cahya, terdapat keluhan dari pegawai KPK lain mengenai proses administrasi yang berlarut dan terjadinya pemotongan uang dinas.

Baca juga: Tahanan KPK yang Terlibat Suap dan Gratifikasi di Rutan Diduga Capai Puluhan Orang

“Potongan uang perjalanan dinas yang dilakukan oleh oknum tersebut kepada pegawai KPK yang melaksanakan tugas perjalanan dinas,” kata Cahya dalam konferensi pers di Gedung Juang KPK, Jakarta, Selasa (27/6/2023).

Atasan dan pegawai KPK yang menjadi tim kerja oknum tersebut, kemudian melaporkan peristiwa itu ke Inspektorat KPK yang mengawasi internal lembaga antirasuah.

Inspektorat kemudian melakukan pemeriksaan dan menghitung dugaan korupsi dengan berbentuk kerugian keuangan negara.

Dugaan kerugian keuangan negara dalam skandal pemotongan uang dinas itu diduga mencapai Rp 550 juta dalam kurun waktu 2021-2022.

Selanjutnya, berbekal bukti permulaan tersebut pejabat pembina mengadukan dugaan pemotongan anggaran dinas itu ke Kedeputian bidang Penindakan dan Eksekusi KPK.

Baca juga: Pegawai KPK Diduga Tilap Uang Dinas, Kerugian Negara Capai Rp 550 Juta

Selain itu, Sekretariat Jenderal KPK juga bakal melaporkan perbuatan oknum itu ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Sang pegawai yang diduga terlibat oknum sudah dibebastugaskan untuk memudahkan proses pemeriksaan.

(Penulis : Syakirun Ni'am | Editor : Icha Rastika, Bagus Santosa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Nasional
Pernah Dukung Anies di Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Pernah Dukung Anies di Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Nasional
Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Nasional
MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke 'Crazy Rich Surabaya'

MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke "Crazy Rich Surabaya"

Nasional
Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Nasional
Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Nasional
BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

Nasional
Pimpinan KPK Alexander Marwata Sudah Dimintai Keterangan Bareskrim soal Laporan Ghufron

Pimpinan KPK Alexander Marwata Sudah Dimintai Keterangan Bareskrim soal Laporan Ghufron

Nasional
Drama Nurul Ghufron Vs Dewas KPK dan Keberanian Para 'Sesepuh'

Drama Nurul Ghufron Vs Dewas KPK dan Keberanian Para "Sesepuh"

Nasional
Di Hadapan Jokowi, Kepala BPKP Sebut Telah Selamatkan Uang Negara Rp 78,68 Triliun

Di Hadapan Jokowi, Kepala BPKP Sebut Telah Selamatkan Uang Negara Rp 78,68 Triliun

Nasional
Hadapi Laporan Nurul Ghufron, Dewas KPK: Kami Melaksanakan Tugas

Hadapi Laporan Nurul Ghufron, Dewas KPK: Kami Melaksanakan Tugas

Nasional
MK Tolak Gugatan PPP Terkait Perolehan Suara di Jakarta, Jambi, dan Papua Pegunungan

MK Tolak Gugatan PPP Terkait Perolehan Suara di Jakarta, Jambi, dan Papua Pegunungan

Nasional
11 Korban Banjir Lahar di Sumbar Masih Hilang, Pencarian Diperluas ke Perbatasan Riau

11 Korban Banjir Lahar di Sumbar Masih Hilang, Pencarian Diperluas ke Perbatasan Riau

Nasional
Perindo Resmi Dukung Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jatim 2024

Perindo Resmi Dukung Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jatim 2024

Nasional
KPK Usut Dugaan Pengadaan Barang dan Jasa Fiktif di PT Telkom Group, Kerugian Capai Ratusan Miliar Rupiah

KPK Usut Dugaan Pengadaan Barang dan Jasa Fiktif di PT Telkom Group, Kerugian Capai Ratusan Miliar Rupiah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com