JAKARTA, KOMPAS.com - Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) tampak lenggang menjelang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang akan ditentukan, Kamis (15/6/2023) hari ini.
Adapun MK menjadwalkan sidang putusan perkara tersebut digelar pada pukul 09.30 WIB.
Berdasarkan pantauan Kompas.com di lokasi, Jalan Medan Merdeka Barat tidak ditutup. Namun, tak tampak keramaian, termasuk aksi masa di depan Gedung MK pada pukul 09.00 WIB.
Baca juga: Jelang Putusan MK, Nasdem: Proporsional Terbuka Akomodasi Banyak Kepentingan
Sementara itu, tampak juga sejumlah polisi tengah berbaris melaksanakan apel pengamanan.
Kemudian, di belakang gedung MK, tampak kendaraan taktis (rantis) dan juga personal Brimob disiagakan.
Sebagai informasi, hari ini, hakim MK akan memutus sistem pemilu di Indonesia, tetap proporsional terbuka atau diubah menjadi proporsional tertutup.
Banyak mata menantikan hasil uji materi perkara ini. Sebab, berkali-kali muncul perbedaan pandangan mengenai sistem pemilu yang ideal diterapkan di Indonesia.
Apalagi, sempat heboh beredar kabar yang menyebutkan bahwa putusan MK terkait perkara tersebut bocor.
Mahkamah disebut-sebut bakal mengabulkan gugatan dan mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Baca juga: Gerindra: Alangkah Bijaknya kalau MK Tetap Pertahankan Proporsional Terbuka
Padahal, saat informasi itu mencuat, sidang masih bergulir dan belum sampai ke babak putusan.
Uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan pada 14 November 2022. Gugatan yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU/XX/2022 itu menyoal sejumlah ketentuan, di antaranya Pasal 168 ayat (2) tentang sistem pemilu.
Lewat gugatan tersebut, enam pemohon, yakni Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, lalu Yuwono Pintadi yang merupakan kader Partai Nasdem, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Adapun Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.
Baca juga: Gerindra: Alangkah Bijaknya kalau MK Tetap Pertahankan Proporsional Terbuka
Para pemohon berpendapat, sistem pemilu proporsional terbuka bertentangan dengan konstitusi. Sebab, Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 UUD 1945 menerangkan bahwa anggota DPR dan DPRD dipilih dalam pemilu, di mana pesertanya adalah partai politik.
Sementara itu, dengan sistem pemilu terbuka, pemohon berpandangan, peran parpol menjadi terdistorsi dan dikesampingkan. Sebab, calon legislatif terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak, bukan yang ditentukan oleh partai politik.
Para pemohon yang berniat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada pemilu pun merasa dirugikan dengan sistem pemilu proporsional terbuka.
Sistem tersebut dinilai menimbulkan persaingan yang tidak sehat yang menitikberatkan pada aspek popularitas dan kekuatan modal calon anggota legislatif.
“Sehingga, kader partai yang memiliki pengalaman berpartai dan berkualitas kalah bersaing dengan calon yang hanya bermodal uang dan popularitas semata,” demikian argumen para pemohon dikutip dari dokumen permohonan uji materi.
“Apabila sistem proporsional tertutup diterapkan, maka kader-kader yang sudah berpengalaman di kepartaian memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi anggota DPR dan DPRD meskipun tidak memiliki kekuatan modal dan popularitas,” lanjut pemohon.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.