JAKARTA, KOMPAS.com – Delapan akademisi melakukan eksaminasi atas putusan kasus pembunuhan berencana yang dilakukan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo terhadap eks ajudannya, Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Salah satu hal yang dieksaminasi adalah soal penggunaan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana yang dinilai kurang tepat.
Eksaminasi merupakan pengujian atau pemeriksaan terhadap surat dakwaan dari jaksa atau putusan pengadilan yang putuskan hakim.
Baca juga: Putusan Mati Ferdy Sambo-Putri Candrawathi Dieksaminasi 8 Akademisi, Salah Satunya Wamenkumham
“Untuk Pak Ferdy Sambo ada tujuh isu, pertama apakah perbuatan Ferdy masuk dalam 340 atau 338. Memang secara umum mengatakan bahwa ini sebenarnya tidak tepat untuk Pasal 340, tapi lebih tepat Pasal 338. Karena apa? Keadaan tenang itu tidak terbukti,” ujar Pakar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahrus Ali, dalam keterangannya seperti dikutip, Minggu (11/6/2023).
Sebagaimana diketahui, pada (13/2/2023), Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis hukuman mati bagi Ferdy Sambo.
Tim eksaminasi, kata Ali, menjelaskan bahwa putusan Ferdy Sambo hanya memiliki satu keterangan saksi, yakni saksi pelaku atau justice collaborator (JC), Bharada Richard Eliezer.
Baca juga: Seperti Saat Kasus Sambo, Komisi III DPR Buka Kemungkinan Panggil Kejagung soal Kasus BTS 4G
Putusan Ferdy Sambo pun dinilai kurang tepat jika hanya berdasarkan pada satu keterangan saksi. Apalagi, keterangan Richard juga disebut bertentangan dengan saksi lainnya.
Ali mengatakan, eksaminasi juga membahas soal motif. Dalam perkara Ferdy Sambo, hakim mempertimbangkan dua motif dari versi jaksa dan penasehat hukum.
Pihak penasihat hukum Sambo menyebut motifnya adalah faktor pemerkosaan. Sementara jaksa mengatakan bahwa motifnya adalah perselingkuhan.
Namun, lanjut Ali, majelis hakim menolak kedua motif itu dan mengatakan, motifnya adalah kecewa meski tak dijelaskan lebih lanjut alasannya.
Baca juga: Gugatan Sekretaris MA Hasbi Hasan Lawan KPK Diadili Hakim Kasus Ferdy Sambo
“Jadi di situ, eksaminator mengatakan hakim itu bahasa kasarnya itu melakukan proses halusinasi. Dia membuat fakta-fakta yang itu tidak ada di persidangan, dan itu menjadi dasar hakim salah satunya menjatuhkan pidana mati,” ucap Ali.
Menurut Ali, tim eksaminator menilai pidana mati tidak tepat dijatuhkan dalam perkara Sambo.
“Karena apa? Karena pertimbangan hakim yang dipaparkan hakim di dalam dokumennya itu tidak lengkap,” sambungnya.
Selain itu, Ali mengatakan, hasil eksaminasi membahas soal tes poligraf yang dijadikan pertimbangan hakim dalam membuat putusan.
Baca juga: Jaksa Kasus Ferdy Sambo dan Kopi Sianida Jadi JPU Sidang Mario Dandy
Adapun tim eksaminator berpandangan tes poligraf tidak layak dijadikan pertimbangan putusan karena tidak diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Lebih lanjut, tim eksaminator membahas soal pelaku penembakan Brigadir J. Dalam perkara Sambo, ada 7 peluru yang bersarang di tubuh korban.
Disebutkan, ada 5 peluru itu berasal dari senjata terdakwa Richard. Sementara dua peluru tidak dapat diidentifikasi pemiliknya karena sudah berbentuk serpihan yang sangat kecil.
Majelis hakim, kata Ali, menyimpulkan 5 peluru itu berasal dari terdakwa Richard Eliezer. Sementara, dua peluru lain disimpulkan milik Ferdy Sambo.
“Sehingga hakim mengatakan bahwa Ferdy juga ikut menembak walaupun pertimbangan majelis hakim ini bertentangan dengan bukti ilmiah,” tuturnya.
Baca juga: Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dan Kuat Maruf Resmi Ajukan Kasasi
Selanjutnya, tim eksaminasi kasus Ferdy Sambo juga menyorot soal pasal turut serta yang dinilai tidak tepat dalam vonis mantan Kadiv Propam itu.
Ali menambahkan, pasal turut serta sebenarnya tidak tepat diberikan, tetapi harusnya menganjurkan. Akan tetapi, pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
“Pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam surat dakwaan. Hakim nanti terjebak kira-kira dengan cara pandang dia karena sejak awal hakim sudah mengeklaim ini adalah turut serta,” ujarnya.
Terakhir, tim eksaminator juga membahas soal isu jeratan obstruction of justice terhadap Ferdy Sambo.
Menurut Ali, Profesor Eddy juga mengatakan, bahwa obstruction of justice itu seharusnya ditujukan bukan kepada pelaku kejahatan, tetapi kepada orang yang membantu menghalang-halangi pelaku atau saksi.
“Jadi Prof Eddy mengatakan tidak tepat kalau dalam perkara a quo, Sambo juga dikenakan pasal tentang obstruction of justice karena dia adalah pelaku dalam perkara a quo,” tuturnya.
Adapun Ali mengatakan delapan akademisi yang mengeksaminasi putusan Sambo di antaranya Profesor Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej yang saat ini menjabat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham).
Kemudian, ada tujuh profesor lain yaitu Marcus Priyo Gunarto, Amir Ilyas, Koentjoro, Chairul Huda, Mahmud Mulyadi, Rocky Marbun, dan Agustinus Pohan.
Baca juga: Minta Polisi Insaf, Megawati: Gimana Saya Enggak Kesal Lihat Kasus Ferdy Sambo hingga Achiruddin
Ali mengeklaim, eksaminasi itu dilakukan para akademisi murni sebagai kajian akademik.
"Karena ini adalah eksaminasi, maka jelas kajiannya doktrinal karena dibatasi kepada dokumen yang tertulis. Dokumen itulah dikaji para eksaminasi," kata Ali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.