SUATU ketika di masa diplomasi kemerdekaan Indonesia, negara ini pernah bermimpi menjadi negara besar sekelas Amerika.
Tokoh-tokoh besar negeri Paman Sam, yang telah berjuang keras menghadirkan negara Amerika yang bebas dan merdeka dari Kerajaan Inggris, diidentifikasi setara dengan tokoh-tokoh nasional yang berjuang memerdekakan Indonesia dari kolonial Belanda.
Cerita ini terungkap dari perangko-perangko khusus yang terbit di saat berlangsungnya diplomasi kemerdekaan Indonesia di Belanda.
Jelang transfer kekuasaan dari Belanda ke Indonesia di Den Haag, pemerintah di Yogyakarta menerbitkan perangko (postage stamp) bergambarkan beberapa tokoh pejuang nasional, yang disandingkan dengan pejuang kemerdekaan Amerika.
Ir Soekarno ada di perangko bernilai 1 rupiah dengan gambar George Washington di belakang gambar Soekarno.
Mohammad Hatta di perangko bernominal 40 sen rupiah dengan gambar Abraham Lincoln di belakangnya. AA Maramis dengan Alexander Hamilton bernominal 20 sen rupiah.
Haji Agus Salim dengan Benjamin Franklin bernominal 17,5 sen rupiah. Dan terakhir Soetan Sjahrir, dengan nominal 3,5 sen rupiah bersama Thomas Jefferson.
Framing perjuangan kemerdekaan kita kala itu memang sangat Amerika. Soedarpo Sastrosatomo, pengikut Sjahrir, saat memperjuangkan isu kedaulatan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama Soejatmoko (di Amerika), bahkan memberi judul pidatonya "It's 1776 in Indonesia”, mengacu pada tahun kemerdekaan Amerika.
Begitulah gambaran betapa besarnya impian para pendiri negeri ini atas ibu Pertiwi; Indonesia.
Kisah ini diulas secara menarik di dalam buku "American Visions of the Netherlands East Indies/Indonesia, US Foreign Policy and Indonesian Nationalism, 1920-1949", yang ditulis oleh Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, terbitan tahun 2002 lalu.
Namun mimpi menjadi negara besar hanya bertahan sebentar. Setelah Belanda benar-benar mengakui secara de facto dan de jure kemerdekaan Indonesia tahun 1949, watak asli kekuasaan mulai merasuki para penguasa baru negeri ini.
Parlemen baru memilih jalan demokrasi sekaligus memutuskan keputusan yang agak berlawanan dengan demokrasi, yakni mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Hal tersebut, tak pelak, membuat perjalanan sejarah Indonesia langsung berbeda dengan Amerika.
Pasalnya, George Washington, sebagai presiden pertama negeri Paman Sam, dengan sadar dan ikhlas tidak mengajukan diri sebagai calon presiden untuk ketiga kalinya, agar menyisakan preseden positif; sebuah legacy untuk berkembangnya demokrasi di Amerika.
Tradisi tersebut bersemi dengan baik, yang membuat pemilihan umum di Amerika sana berjalan secara berkala dan teratur, dalam keadaan apapun.
Langkah sederhana yang diambil George Washington menjadi bibit institusionalisasi demokrasi di Amerika, seiring dengan tertanam kuatnya tradisi pemisahan kekuasaan di dalam sistem politik negeri itu.
Ketika institusi tersebut mulai agak melenceng di tangan Presiden ke 32 Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt, yang maju sebagai calon presiden sebanyak empat kali karena alasan depresi besar (the Great Depression) dan Perang Dunia II, Parlemen Amerika akhirnya bersikap.
Ketetapan masa jabatan presiden sebanyak 2 (dua) periode akhirnya dimasukkan ke dalam konstitusi Amerika, The Constitution of the United States.
Di Indonesia, pascatragedi 1965, Soeharto pun pada awalnya berniat baik untuk menstabilisasi keadaan dalam negeri dan ingin fokus membangun Indonesia karena amburadulnya keadaan ekonomi nasional kala itu.
Namun kekuasaan memang tidak mudah dijinakkan. Janji-janji baik yang diucapkan sebelum berkuasa atau pada masa awal berkuasa sangat sering berakhir buruk di ujungnya.
Dalam hal ini, benar adanya perkataan Presiden ke 16 Amerika Serikat yang juga seorang pengacara, Abraham Lincoln.
"Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man's character, give him power", katanya.
Artinya, terkait dengan kekuasaan dan calon penguasa, kita tidak bisa benar-benar berpegang pada janji-janji awal para calon penguasa, karena ujian sebenarnya untuk menguji janji tersebut adalah saat mereka diberi kekuasaan.
Setelah sepuluh tahun berkuasa, akhirnya Soeharto tak pernah benar-benar ingat janjinya lagi. Soeharto justru menguasai semua panggung untuk mengokohkan kekuasaannya di Istana, sampai akhirnya kita tersadar bahwa telah 32 tahun beliau duduk di Istana, lengkap dengan skala patologi ekonomi politik yang melekat di balik kekuasaan yang dipegang presiden kedua di negeri ini.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.