Pergerakan kekuasaaan mulai agak membaik setelah Reformasi bermula. Namun kekuasaan yang awalnya terpusat mulai terbagi-bagi ke beberapa kantong kekuasaan, yang pelan-pelan juga mulai mengeluarkan watak asli kekuasaan tersebut.
Presiden keempat Republik Indonesia, K H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pun harus rela menerima kekuasaannya dilengserkan oleh kantong-kantong kekuasaan baru tersebut.
Padahal sebenarnya Gus Dur berhasil melakukan banyak terobosan di Istana dan di pentas politik nasional, bahkan internasional.
Beliau berhasil menjadikan Istana sebagai sahabat media, tanpa relasi "stick and carrot" alias Istana tidak lagi menjadi bangunan kekuasaan yang sakral dan menakutkan bagi publik.
Pun di era Gus Dur, Polri dan TNI dipisahkan secara tegas, mengangkat menteri pertahanan dari kalangan sipil, kepercayaan maupun hari raya warga Tionghoa diakui setara dengan agama lainnya, dan diskriminasi atas kelompok minoritas diminimalisasi sedemikian rupa.
Semuanya menjadi bahan positif untuk menumbuhkembangkan demokrasi di negeri ini.
Namun seiring berjalannya waktu, kantong-kantong kekuasaan tersebut berubah pola perilaku.
Mereka bermetamorfisis menjadi kantong-kantong "King Maker" yang tetap ingin menancapkan kukunya di pusat kekuasaan. Bahkan Jokowi yang pada awal masa kekuasaannya sangat "merakyat" terkesan juga ikut terjebak ke dalam spirit negatif kekuasaan tersebut.
Entah di mana letak persoalannya, Jokowi nampaknya terkesan "sangat khawatir" dengan siapa yang akan menggantikannya, sehingga merasa harus ikut terlibat secara aktif untuk menentukannya.
Acara sekelas Musyawarah Rakyat (Musra), yang dananya tentu tak sedikit, disinyalir banyak pihak diadakan untuk menampung hasrat "King Maker" Jokowi tersebut.
Begitu pula dengan relawan pendukung Jokowi sekelas Projo yang mengakui secara terang-terangan melakukan simulasi calon presiden dan calon wakil presiden atas perintah dari Jokowi.
Kelompok yang awalnya hanya berperan sebagai relawan politik berubah fungsi setara, bahkan lebih, dengan partai politik, hanya untuk menjalankan secara taken for granted keinginan seorang Jokowi.
Di sisi lain, Jokowi juga merasa tidak bisa tinggal diam dengan dinamika politik kepartaian yang menjadi basis institusional pencalonan presiden pengganti beliau.
Jokowi terkesan tidak merelakan dinamika politik berlangsung secara alami dengan membiarkan institusi demokrasi bekerja secara independen.
Karena ambisi tersebut, Gibran Rakabuming, yang menjadi Wali Kota Solo sekaligus tokoh muda PDIP, ikut menerima limpahan prestise kekuasaan Jokowi dan ikut menjadi "center of gravity" di dalam dinamika politik menjelang pemilihan mendatang.
Bahkan santer dikabarkan berbagai media, Gibran ikut masuk ke dalam opsi politik yang akan dijadikan calon wakil presiden untuk salah satu calon presiden 2024.
Dengan kata lain, Jokowi semestinya memainkan peran sebagai "pembimbing" bagi para semua calon presiden dan calon wakil presiden yang akan berlaga nanti, dengan menyediakan lapangan politik yang "datar" untuk semuanya alias "political level playing field."
Tentu tidak ada yang salah dengan preferensi politik pribadi Jokowi. Semua pihak berhak memiliki pilihannya sendiri, termasuk seorang presiden.
Namun memberikan dukungan atau penolakan kepada salah satu kandidat, sembari memakai baju "kepresidenan", akan membuat level playing field menjadi buruk, karena Jokowi memiliki "leverage" kekuasaan yang tidak dimiliki oleh para pihak di luar kekuasaan.
Jalan terbaik bagi beliau adalah menggunakan kekuasaan negara untuk menciptakan lapangan yang datar bagi semua pemain, yang memberikan dukungan secara proporsional bagi kandidat yang disukai agar memenangkan permainan di lapangan yang datar tersebut alias dengan tidak menggunakan kekuasaan sebagai seorang presiden.
Itupun dilakukan dengan niat yang lurus untuk kebaikan bersama, bukan dengan niat ingin tetap berkuasa di Istana melalui tangan orang lain.
Karena, niat untuk melanggengkan kekuasaan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, adalah niat yang kurang tepat untuk membangun institusi demokrasi yang kuat di negeri ini, apalagi untuk membangun bangsa dan negara ini menjadi sebesar Amerika Serikat.
Intinya, Jokowi tidak perlu takut legacy-nya dibatalkan atau dihentikan oleh penggantinya nanti. Biarlah itu menjadi keputusan dan kesepakatan politik penerus beliau bersama dengan parlemen nantinya.
Jokowi tidak perlu "mengudeta" secara halus proses politik nanti di saat beliau tak lagi menjadi presiden. Cukup yakin saja bahwa waktu akan menyelamatkan semua legacy yang memang benar-benar baik dan bermanfaat untuk Indonesia.