Jokowi tak perlu mengkhawatirkannya. Infrastruktur-infrastruktur yang dibangun selama era Jokowi akan dikenang dan dihargai oleh Indonesia.
Anggaran desa yang meningkat tajam akan selalu dihormati oleh semua desa di negeri ini. Jalan tol akan dirasakan signifikansinya oleh semua perantau yang mudik setiap Lebaran. Dan masih banyak lagi.
Logika yang sama juga berlaku bagi kantong-kantong kekuasaan di luar Istana, terutama partai-partai politik.
Istilah "petugas partai" untuk calon presiden dan presiden terpilih semestinya harus dihilangkan, diganti dengan istilah "menyedekahkan/mewakafkan kader" untuk kepentingan yang jauh lebih besar, yakni kepentingan rakyat banyak/bangsa dan kepentingan nasional.
Calon-calon presiden yang dipaksa mengakui statusnya sebagai "petugas partai" sebelum dan setelah terpilih harus menyadari konsekuensi dari status tersebut.
Kekuasaan yang terletak di dalam jabatan seorang presiden terlalu naif seandainya ditundukkan di bawah sebuah pakta integritas, misalnya, antara satu partai dengan calon presiden yang memosisikan seorang presiden hanya sebagai petugas partai.
Pertama, partai harus mulai menyadari konsekuensi di balik logika status petugas partai tersebut, karena akan mendegradasi tanggung jawab moral seorang presiden kepada bangsa dan negara.
Partai harus bangga menyedekahkan dan mewakafkan kadernya untuk bangsa dan negara secara "taken for granted", karena memang semestinya seperti itulah relasi partai dan kadernya yang sudah terpilih.
Pasalnya, kalau partai tidak bersedia melepaskan cengkeramannya atas para pemimpin terpilih, maka politik akan bergerak berlawanan arah dengan idealitas moralnya.
Karena gairah kekuasaan dari partai untuk tetap mencengkeram kekuasaan secara berlebihan akan membuat politik menjadi seperti yang didefinisikan oleh Groucho Marx.
"Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies," kata Groucho.
Kedua, calon presiden yang dipercayakan oleh partai sebagai calon presiden secara resmi pun harus berani memperlihatkan warna dan jati diri politiknya kepada publik.
Artinya, sang kandidat harus benar-benar mampu memberikan warna tersendiri, di luar warna yang telah dilekatkan partai kepadanya, sebagai bukti bahwa ia adalah kandidat presiden yang benar-benar di atas kader partai lainnya dari segala sisi.
Justru saat seorang kader mendapatkan status sebagai calon pemimpin bangsa, saat itulah ia memperlihatkan kelasnya bahwa ia adalah kader bangsa dan negara, yang berasal dari salah satu partai, tapi berambisi memperjuangkan kepentingan yang melebihi kepentingan satu partai dari mana ia berasal, yakni kepentingan rakyat dan kepentingan bangsa dan negara.
Dengan lain perkataan, saat seorang kader partai telah diputuskan menjadi calon presiden resmi partai tersebut, keleluasaan politik harus diberikan seluas-luasnya.
Bayang-bayang partai sebaiknya dikurangi, karena sejatinya di saat itulah bendera partai yang dijunjung oleh sang kandidat harus diganti dengan bendera Merah Putih, yang dikibarkan jauh lebih tinggi di atas tiang bendera partai.
Dan, idealitas ini bukan hanya berlaku untuk salah satu kandidat calon presiden dan salah satu partai politik semata. Namun berlaku secara umum untuk siapapun yang ingin menjadi presiden dan untuk partai mana pun yang sedang mengirimkan kader terbaiknya untuk berkompetisi secara sehat menuju Istana Negara.
Last but not least, konsistensi kita dalam menjaga proses konsolidasi demokrasi dengan menghormati batas-batas tidak tertulis (conventional political institution) di dalam arena elektoral tentunya sangat penting bagi Indonesia.
Bukan saja untuk merealisasikan instruksi demokrasi sebagaimana diamanatkan di dalam Konstitusi, tapi juga untuk menjaga "geopolitical positioning" Indonesia di pentas global.
Caranya dengan tidak memberi ruang kepada negara besar manapun menyusup ke dalam konstestasi demokrasi domestik kita via tangan-tangan "King Maker" dan kandidat pilihannya.
Atau secara langsung menunggangi pihak-pihak yang berlaga, yang bertujuan untuk melemahkan negara kita, mengganggu gerak langkah demokrasi kita, mencari-cari alasan "cawe-cawe" di dalam dinamika politik dalam negeri kita atas alasan bahwa salah satu atau beberapa elite kita lebih condong ke salah satu blok geopolitik besar. Semoga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.