Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Membatasi Gairah Berkuasa yang Berlebihan

Kompas.com - 28/05/2023, 05:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUATU ketika di masa diplomasi kemerdekaan Indonesia, negara ini pernah bermimpi menjadi negara besar sekelas Amerika.

Tokoh-tokoh besar negeri Paman Sam, yang telah berjuang keras menghadirkan negara Amerika yang bebas dan merdeka dari Kerajaan Inggris, diidentifikasi setara dengan tokoh-tokoh nasional yang berjuang memerdekakan Indonesia dari kolonial Belanda.

Cerita ini terungkap dari perangko-perangko khusus yang terbit di saat berlangsungnya diplomasi kemerdekaan Indonesia di Belanda.

Jelang transfer kekuasaan dari Belanda ke Indonesia di Den Haag, pemerintah di Yogyakarta menerbitkan perangko (postage stamp) bergambarkan beberapa tokoh pejuang nasional, yang disandingkan dengan pejuang kemerdekaan Amerika.

Ir Soekarno ada di perangko bernilai 1 rupiah dengan gambar George Washington di belakang gambar Soekarno.

Mohammad Hatta di perangko bernominal 40 sen rupiah dengan gambar Abraham Lincoln di belakangnya. AA Maramis dengan Alexander Hamilton bernominal 20 sen rupiah.

Haji Agus Salim dengan Benjamin Franklin bernominal 17,5 sen rupiah. Dan terakhir Soetan Sjahrir, dengan nominal 3,5 sen rupiah bersama Thomas Jefferson.

Framing perjuangan kemerdekaan kita kala itu memang sangat Amerika. Soedarpo Sastrosatomo, pengikut Sjahrir, saat memperjuangkan isu kedaulatan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama Soejatmoko (di Amerika), bahkan memberi judul pidatonya "It's 1776 in Indonesia”, mengacu pada tahun kemerdekaan Amerika.

Begitulah gambaran betapa besarnya impian para pendiri negeri ini atas ibu Pertiwi; Indonesia.

Kisah ini diulas secara menarik di dalam buku "American Visions of the Netherlands East Indies/Indonesia, US Foreign Policy and Indonesian Nationalism, 1920-1949", yang ditulis oleh Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, terbitan tahun 2002 lalu.

Namun mimpi menjadi negara besar hanya bertahan sebentar. Setelah Belanda benar-benar mengakui secara de facto dan de jure kemerdekaan Indonesia tahun 1949, watak asli kekuasaan mulai merasuki para penguasa baru negeri ini.

Parlemen baru memilih jalan demokrasi sekaligus memutuskan keputusan yang agak berlawanan dengan demokrasi, yakni mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.

Hal tersebut, tak pelak, membuat perjalanan sejarah Indonesia langsung berbeda dengan Amerika.

Pasalnya, George Washington, sebagai presiden pertama negeri Paman Sam, dengan sadar dan ikhlas tidak mengajukan diri sebagai calon presiden untuk ketiga kalinya, agar menyisakan preseden positif; sebuah legacy untuk berkembangnya demokrasi di Amerika.

Tradisi tersebut bersemi dengan baik, yang membuat pemilihan umum di Amerika sana berjalan secara berkala dan teratur, dalam keadaan apapun.

Langkah sederhana yang diambil George Washington menjadi bibit institusionalisasi demokrasi di Amerika, seiring dengan tertanam kuatnya tradisi pemisahan kekuasaan di dalam sistem politik negeri itu.

Ketika institusi tersebut mulai agak melenceng di tangan Presiden ke 32 Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt, yang maju sebagai calon presiden sebanyak empat kali karena alasan depresi besar (the Great Depression) dan Perang Dunia II, Parlemen Amerika akhirnya bersikap.

Ketetapan masa jabatan presiden sebanyak 2 (dua) periode akhirnya dimasukkan ke dalam konstitusi Amerika, The Constitution of the United States.

Di Indonesia, pascatragedi 1965, Soeharto pun pada awalnya berniat baik untuk menstabilisasi keadaan dalam negeri dan ingin fokus membangun Indonesia karena amburadulnya keadaan ekonomi nasional kala itu.

Namun kekuasaan memang tidak mudah dijinakkan. Janji-janji baik yang diucapkan sebelum berkuasa atau pada masa awal berkuasa sangat sering berakhir buruk di ujungnya.

Dalam hal ini, benar adanya perkataan Presiden ke 16 Amerika Serikat yang juga seorang pengacara, Abraham Lincoln.

"Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man's character, give him power", katanya.

Artinya, terkait dengan kekuasaan dan calon penguasa, kita tidak bisa benar-benar berpegang pada janji-janji awal para calon penguasa, karena ujian sebenarnya untuk menguji janji tersebut adalah saat mereka diberi kekuasaan.

Setelah sepuluh tahun berkuasa, akhirnya Soeharto tak pernah benar-benar ingat janjinya lagi. Soeharto justru menguasai semua panggung untuk mengokohkan kekuasaannya di Istana, sampai akhirnya kita tersadar bahwa telah 32 tahun beliau duduk di Istana, lengkap dengan skala patologi ekonomi politik yang melekat di balik kekuasaan yang dipegang presiden kedua di negeri ini.

Pergerakan kekuasaaan mulai agak membaik setelah Reformasi bermula. Namun kekuasaan yang awalnya terpusat mulai terbagi-bagi ke beberapa kantong kekuasaan, yang pelan-pelan juga mulai mengeluarkan watak asli kekuasaan tersebut.

Presiden keempat Republik Indonesia, K H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pun harus rela menerima kekuasaannya dilengserkan oleh kantong-kantong kekuasaan baru tersebut.

Padahal sebenarnya Gus Dur berhasil melakukan banyak terobosan di Istana dan di pentas politik nasional, bahkan internasional.

Beliau berhasil menjadikan Istana sebagai sahabat media, tanpa relasi "stick and carrot" alias Istana tidak lagi menjadi bangunan kekuasaan yang sakral dan menakutkan bagi publik.

Pun di era Gus Dur, Polri dan TNI dipisahkan secara tegas, mengangkat menteri pertahanan dari kalangan sipil, kepercayaan maupun hari raya warga Tionghoa diakui setara dengan agama lainnya, dan diskriminasi atas kelompok minoritas diminimalisasi sedemikian rupa.

Semuanya menjadi bahan positif untuk menumbuhkembangkan demokrasi di negeri ini.

Namun seiring berjalannya waktu, kantong-kantong kekuasaan tersebut berubah pola perilaku.

Mereka bermetamorfisis menjadi kantong-kantong "King Maker" yang tetap ingin menancapkan kukunya di pusat kekuasaan. Bahkan Jokowi yang pada awal masa kekuasaannya sangat "merakyat" terkesan juga ikut terjebak ke dalam spirit negatif kekuasaan tersebut.

Entah di mana letak persoalannya, Jokowi nampaknya terkesan "sangat khawatir" dengan siapa yang akan menggantikannya, sehingga merasa harus ikut terlibat secara aktif untuk menentukannya.

Acara sekelas Musyawarah Rakyat (Musra), yang dananya tentu tak sedikit, disinyalir banyak pihak diadakan untuk menampung hasrat "King Maker" Jokowi tersebut.

Begitu pula dengan relawan pendukung Jokowi sekelas Projo yang mengakui secara terang-terangan melakukan simulasi calon presiden dan calon wakil presiden atas perintah dari Jokowi.

Kelompok yang awalnya hanya berperan sebagai relawan politik berubah fungsi setara, bahkan lebih, dengan partai politik, hanya untuk menjalankan secara taken for granted keinginan seorang Jokowi.

Di sisi lain, Jokowi juga merasa tidak bisa tinggal diam dengan dinamika politik kepartaian yang menjadi basis institusional pencalonan presiden pengganti beliau.

Jokowi terkesan tidak merelakan dinamika politik berlangsung secara alami dengan membiarkan institusi demokrasi bekerja secara independen.

Karena ambisi tersebut, Gibran Rakabuming, yang menjadi Wali Kota Solo sekaligus tokoh muda PDIP, ikut menerima limpahan prestise kekuasaan Jokowi dan ikut menjadi "center of gravity" di dalam dinamika politik menjelang pemilihan mendatang.

Bahkan santer dikabarkan berbagai media, Gibran ikut masuk ke dalam opsi politik yang akan dijadikan calon wakil presiden untuk salah satu calon presiden 2024.

Dengan kata lain, Jokowi semestinya memainkan peran sebagai "pembimbing" bagi para semua calon presiden dan calon wakil presiden yang akan berlaga nanti, dengan menyediakan lapangan politik yang "datar" untuk semuanya alias "political level playing field."

Tentu tidak ada yang salah dengan preferensi politik pribadi Jokowi. Semua pihak berhak memiliki pilihannya sendiri, termasuk seorang presiden.

Namun memberikan dukungan atau penolakan kepada salah satu kandidat, sembari memakai baju "kepresidenan", akan membuat level playing field menjadi buruk, karena Jokowi memiliki "leverage" kekuasaan yang tidak dimiliki oleh para pihak di luar kekuasaan.

Jalan terbaik bagi beliau adalah menggunakan kekuasaan negara untuk menciptakan lapangan yang datar bagi semua pemain, yang memberikan dukungan secara proporsional bagi kandidat yang disukai agar memenangkan permainan di lapangan yang datar tersebut alias dengan tidak menggunakan kekuasaan sebagai seorang presiden.

Itupun dilakukan dengan niat yang lurus untuk kebaikan bersama, bukan dengan niat ingin tetap berkuasa di Istana melalui tangan orang lain.

Karena, niat untuk melanggengkan kekuasaan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, adalah niat yang kurang tepat untuk membangun institusi demokrasi yang kuat di negeri ini, apalagi untuk membangun bangsa dan negara ini menjadi sebesar Amerika Serikat.

Intinya, Jokowi tidak perlu takut legacy-nya dibatalkan atau dihentikan oleh penggantinya nanti. Biarlah itu menjadi keputusan dan kesepakatan politik penerus beliau bersama dengan parlemen nantinya.

Jokowi tidak perlu "mengudeta" secara halus proses politik nanti di saat beliau tak lagi menjadi presiden. Cukup yakin saja bahwa waktu akan menyelamatkan semua legacy yang memang benar-benar baik dan bermanfaat untuk Indonesia.

Jokowi tak perlu mengkhawatirkannya. Infrastruktur-infrastruktur yang dibangun selama era Jokowi akan dikenang dan dihargai oleh Indonesia.

Anggaran desa yang meningkat tajam akan selalu dihormati oleh semua desa di negeri ini. Jalan tol akan dirasakan signifikansinya oleh semua perantau yang mudik setiap Lebaran. Dan masih banyak lagi.

Logika yang sama juga berlaku bagi kantong-kantong kekuasaan di luar Istana, terutama partai-partai politik.

Istilah "petugas partai" untuk calon presiden dan presiden terpilih semestinya harus dihilangkan, diganti dengan istilah "menyedekahkan/mewakafkan kader" untuk kepentingan yang jauh lebih besar, yakni kepentingan rakyat banyak/bangsa dan kepentingan nasional.

Calon-calon presiden yang dipaksa mengakui statusnya sebagai "petugas partai" sebelum dan setelah terpilih harus menyadari konsekuensi dari status tersebut.

Kekuasaan yang terletak di dalam jabatan seorang presiden terlalu naif seandainya ditundukkan di bawah sebuah pakta integritas, misalnya, antara satu partai dengan calon presiden yang memosisikan seorang presiden hanya sebagai petugas partai.

Pertama, partai harus mulai menyadari konsekuensi di balik logika status petugas partai tersebut, karena akan mendegradasi tanggung jawab moral seorang presiden kepada bangsa dan negara.

Partai harus bangga menyedekahkan dan mewakafkan kadernya untuk bangsa dan negara secara "taken for granted", karena memang semestinya seperti itulah relasi partai dan kadernya yang sudah terpilih.

Pasalnya, kalau partai tidak bersedia melepaskan cengkeramannya atas para pemimpin terpilih, maka politik akan bergerak berlawanan arah dengan idealitas moralnya.

Karena gairah kekuasaan dari partai untuk tetap mencengkeram kekuasaan secara berlebihan akan membuat politik menjadi seperti yang didefinisikan oleh Groucho Marx.

"Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies," kata Groucho.

Kedua, calon presiden yang dipercayakan oleh partai sebagai calon presiden secara resmi pun harus berani memperlihatkan warna dan jati diri politiknya kepada publik.

Artinya, sang kandidat harus benar-benar mampu memberikan warna tersendiri, di luar warna yang telah dilekatkan partai kepadanya, sebagai bukti bahwa ia adalah kandidat presiden yang benar-benar di atas kader partai lainnya dari segala sisi.

Justru saat seorang kader mendapatkan status sebagai calon pemimpin bangsa, saat itulah ia memperlihatkan kelasnya bahwa ia adalah kader bangsa dan negara, yang berasal dari salah satu partai, tapi berambisi memperjuangkan kepentingan yang melebihi kepentingan satu partai dari mana ia berasal, yakni kepentingan rakyat dan kepentingan bangsa dan negara.

Dengan lain perkataan, saat seorang kader partai telah diputuskan menjadi calon presiden resmi partai tersebut, keleluasaan politik harus diberikan seluas-luasnya.

Bayang-bayang partai sebaiknya dikurangi, karena sejatinya di saat itulah bendera partai yang dijunjung oleh sang kandidat harus diganti dengan bendera Merah Putih, yang dikibarkan jauh lebih tinggi di atas tiang bendera partai.

Dan, idealitas ini bukan hanya berlaku untuk salah satu kandidat calon presiden dan salah satu partai politik semata. Namun berlaku secara umum untuk siapapun yang ingin menjadi presiden dan untuk partai mana pun yang sedang mengirimkan kader terbaiknya untuk berkompetisi secara sehat menuju Istana Negara.

Last but not least, konsistensi kita dalam menjaga proses konsolidasi demokrasi dengan menghormati batas-batas tidak tertulis (conventional political institution) di dalam arena elektoral tentunya sangat penting bagi Indonesia.

Bukan saja untuk merealisasikan instruksi demokrasi sebagaimana diamanatkan di dalam Konstitusi, tapi juga untuk menjaga "geopolitical positioning" Indonesia di pentas global.

Caranya dengan tidak memberi ruang kepada negara besar manapun menyusup ke dalam konstestasi demokrasi domestik kita via tangan-tangan "King Maker" dan kandidat pilihannya.

Atau secara langsung menunggangi pihak-pihak yang berlaga, yang bertujuan untuk melemahkan negara kita, mengganggu gerak langkah demokrasi kita, mencari-cari alasan "cawe-cawe" di dalam dinamika politik dalam negeri kita atas alasan bahwa salah satu atau beberapa elite kita lebih condong ke salah satu blok geopolitik besar. Semoga!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com