Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Jimly Asshiddiqie: Tak Ada Kewenangan Pengadilan Perdata soal Pemilu, Hakimnya Layak Dipecat

Kompas.com - 02/03/2023, 23:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MANTAN Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie berkomentar keras soal putusan perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terkait proses verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024.

Putusan perkara perdata ini antara lain meminta penghentian tahapan pemilu yang adalah ranah hukum pemilu dan bukan kewenangan pengadilan perdata. Menurut Jimly, hakim perkara tersebut layak dipecat. Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) diminta turun tangan.

"Secara umum kita tidak boleh menilai putusan hakim karena kita harus menghormati peradilan. Tapi ini keterlaluan. Hakimnya layak dipecat. Bikin malu," ujar Jimly, dalam perbincangan dengan Kompas.com, Kamis (2/3/2023) malam.

Baca juga: PN Jakpus Perintahkan Pemilu 2024 Ditunda, Partai Prima Menangi Gugatan terhadap KPU

Putusan pengadilan, tegas Jimly, seharusnya dilawan dengan upaya hukum berupa banding dan bila perlu sampai kasasi ketika dinilai tidak tepat. Namun, Jimly mengakui harus berkomentar keras atas putusan perdata PN Jakarta Pusat terkait gugatan Prima ini.

"Ini contoh buruk profesionalisme dan penghayatan hakim terhadap peraturan perundangan. MA dan KY harus turun tangan. Ini (hakimnya) pantas dipecat," tegas Jimly.

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menambahkan, hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan Prima soal verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 ini mencampuradukkan hukum perdata dan hukum administrasi.

"Ini campur aduk, antara perdata dan masalah administrasi. Hukum administrasi dan tata negara tidak bisa dia bedakan. Juga, soal perbuatan melawan hukum yang harus dipahami benar, (ini) oleh penguasa yang bertindak tidak adil kepada rakyat atau yang biasa. Ini dia tidak memahami," papar jimly.

Bahkan, lanjut dia, hakim dalam perkara ini telah ikut campur pada persoalan pemilu yang sama sekali bukan kewenangannya dan bukan urusannya.

"Ketika amar putusannya mengubah jadwal tahapan, yang bisa berdampak ataupun tidak pada penundaan pemilu, (itu) tetap bukan kewenangan pengadilan perdata untuk memutuskannya," ujar Jimly.

Baca juga: Soal Putusan Tunda Pemilu 2024, Ini Penjelasan PN Jakarta Pusat

Hukum perdata, ungkap Jimly, seharusnya mengurusi masalah perdata saja, yang itu adalah urusan privat. Ketika terbukti ada kerugian dari penggugat, hakim semestinya hanya menjatuhkan sanksi perdata.

"(Pengadilan perdata) hanya membuktikan pelanggaran perdata yang dilakukan tergugat, (yang ketika terbukti lalu hakim) kasih sanksi perdata," tutur Jimly.

Dalam perkara gugatan Prima, Jimly berpendapat hakim telah mengacaukannya dengan persoalan administrasi yang bukan kewenangan pengadilan perdata.

"Mestinya dia bilang ini bukan kewenangan saya, bukan malah dikabulkan," kecam Jimly.

Baca juga: Yusril Anggap Majelis Hakim PN Jakpus Keliru Hukum KPU Tunda Pemilu dalam Gugatan Perdata

Menurut Jimly, hakim yang menangani gugatan perdata Prima tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu, serta tidak mampu membedakan urusan privat (perdata) dengan urusan publik. 

"Tidak pantas hakim tidak dapat membedakan hukum perdata dan hukum publik. MA dan KY harus bertindak," tegas Jimly.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com