Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Asrizal Nilardin
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Ketua Umum Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia

Menakar Wacana Pilkada Asimetris

Kompas.com - 15/12/2022, 14:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BADAN Pengkajian MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) mewacanakan kajian pemilihan kepala daerah secara asimetris. Artinya, akan ada memungkinkan dilakukan revisi norma serta praksis pelaksanaan pemilihan kepada daerah (pilkada) di Indonesia.

Jika wacana itu diloloskan, akan ada sebagian daerah yang melaksanakan pilkada dengan skema kepala daerahnya cukup dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Motif perubahan model pilkada tersebut diungkap MPR untuk menekan biaya politik dan menciptakan efisiensi penyelenggaraan pemilu.

Baca juga: Ini Pertimbangan MPR Lakukan Kajian Pilkada Asimetris

Ketentuan pilkada diatur dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945, dan ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Dipilih secara demokratis

Konstitusi tidak mengatur secara ekplisit mekanisme pemilihan kepala daerah. Namun prinsipnya secara tegas mengamanatkan pelaksanaannya harus dilakukan secara "demokratis". Secara teori maupun praktik, "dipilih secara demokratis" dapat dimaknai dalam dua anasir umum, yakni demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung atau perwakilan.

Di Indonesia, dua anasir umum di atas telah dipraktikan secara bersamaan. Di daerah tertentu pemilihan atau penetapan kepala daerah dilakukan melalui mekanisme perwakilan dengan keterlibatan DPRD.

Sebagai contoh, penetapan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan walikota/bupati di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Berdasarkan ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan IDY, DPRD berwenang mengatur beberapa tahapan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, mulai dari pembentukan pansus, verifikasi dokumen, pemberian saran atau masukan terhadap visi misi calon gubernur dan wakil gubernur, rapat paripurna penetapan, hingga mengusulkan hasil penetapan kepada presiden dan menteri untuk pengesehan hasil penetapan DPRD tentang penetapan gubernur dan wakil gubernur DIY.

Demikian pula di DKI Jakarta, DPRD sebagai manifestasi dari kehendak rakyat berperan penting dalam penetapan calon walikota/bupati. Penetapan walikota/bupati dilakukan DPRD dengan memberikan pertimbangan terhadap calon yang diajukan oleh gubernur.

Hal itu dapat dilihat pada ketentuan Pasal 12 ayat 3 UU Nomor 29 Tahun 2007 Tentang DKI Jakarta yang menjelaskan bahwa "DPRD Provinsi DKI Jakarta memberikan pertimbangan terhadap calon walikota/bupati yang diajukan oleh gubernur".

Baik DIY maupun DKI Jakarta, mekanisme pemilihan atau penetapan kepala daerahnya tetap dimaknai dilakukan secara "demokratis".

Secara teori maupun konstitusi, prosedur demokrasi dalam pilkada tidak berarti harus dipilih langsung oleh rakyat, melainkan terbuka kemungkinan untuk dilakukan melalui perwakilan. Hal paling penting, selama lembaga perwakilan (in casu DPRD) tetap dipilih langsung oleh rakyat.

Sementara itu, UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilu menganatkan pelaksanaan pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat. Sampai saat ini, ketentuan pilkada langsung berlaku bagi seluruh daerah di Indonesia, kecuali DIY dan DKI Jakarta.

Wacana pilkada asimetris

Memaknai praktik pemilihan kepala daerah di DIY dan DKI Jakarta yang berbeda dengan pilkada di daerah lainnya, maka Indonesia telah mengatur dan melaksanakan pilkada asimetris. Artinya, telah terjadi ketidaksamaan aturan dan praktik pilkada. Dengan demikian, wacana pilkada asimetris MPR meruapakan sesuatu yang telah ada dan berlaku.

Hanya saja, pilkada asimetris yang berlaku saat ini ditentukan berdasarkan status daerah khusus dan/atau istimewa. Hal itu mengisyaratkan pilkada asimetris baru dimungkin untuk dilakukan di daerah lain jika terlebih dahulu menyemat status daerah khusus atau istimewa.

Baca juga: Puskapol UI: Pilkada Asimetris Tak Cocok untuk Indonesia

Status daerah khusus atau istimewa tentu didasarkan kriteria tertentu yang tidak mudah untuk diperjuangkan. Karena status khusus atau istimewa tersebut yang memberikan privilese hukum untuk pengecualian bagi daerah tertentu menyelenggarakan pilkada secara berbeda dari daerah lainnya (asimetris).

Berbeda cerita jika MPR merekomendasikan kepada DPR untuk merevisi UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Akan tetapi, ketentuan yang membuatnya asimetris tentu bukan perkara mudah.

Sebagian daerah yang ditetapkan untuk melaksanakan pilkada secara asimetris harus memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis yang memadai. Baik karena tingkat pendidikan, kesadaran politik, infrastruktur, letak geografis, jumlah penduduk, hingga potensi konflik sosial secara horisontal maupun vertikal.

Wacana pilkada asimetris hanya dimungkinkan untuk dilakukan kepada daerah yang telah ditetapkan sebagai daerah khusus.

Selain DIY dan DKI, daerah khusus yang memungkinkan untuk melaksanakan pilkada asimeteris ialah Aceh dan Papua (serta daerah otonomi baru/DOB Papua).

Begitu pula, wacana pelaksanaan pilkada secara tidak langsung kepada beberapa daerah tersebut harus dilakukan kajian secara komprehensif. Perlu ada kriteria ketat dan memadai atas urgensi pilkada tidak langsung terhadap daerah-daerah tersebut.

Jika alasannya karena praktik money politic atau rawan korupsi akibat biaya pilkada langsung yang amat mahal, hemat saya opsi itu tentu tidak solutif. Yang terjadi apabila pilkada dilakukan DPRD, hanya menggeser subjek dan objek. Praktik money politic tidak lantas ikut tertangkal.

Begitu pula, di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi politik (parpol dan DPR), wacana itu tentu akan menimbulkan resistensi, serta gejala money politic dan korupsi akan terjadi lebih terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Jika satu suara rakyat sebelumnya dihargai 50-100 ribu, maka nilai kursinya (di DPRD) akan ratusan kali lipat kepada satu suara anggota DPRD.

Baca juga: Pilkada Asimetris Dikhawatirkan Ciptakan Diskriminasi Daerah dan Ancam Kesatuan Bangsa

Sudah menjadi rahasia umum, yang tak kalah mahal dalam kontestasi pilkada ialah harga selembar surat rekemendasi partai politik pengusung maupun pendukung.

Jika pilkada dilakukan DPRD, pasangan calon yang mampu membayar dan menggaet dukungan sebagian besar partai politik dapat dipastikan akan terpilih sebagai kepala daerah. Lantaran anggota DPRD yang memilihnya pasti akan mengikuti instruksi partainya.

Selain itu, pola pertanggungjawaban kepala daerah juga akan beralih dari rakyat kepada DPRD. Akibatnya, rakyat tidak lebih dari objek yang tidak terlalu berpangaruh dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala daerah.

Maka, wacana MPR melaksanakan pilkada secara asimetris tidak mendapatkan urgensi yang mendesak, serta akan lebih berpotensi menciptkan kekacauan politik dan biaya politik yang lebih mahal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com